Bagian 2 : Terkesan

32 8 0
                                    


"Beri salam."

"Assalaamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh."

Sambut kami setiap kali kedatangan guru yang hendak mengajar di kelas. Dan jadwal pelajaran pertama senin pagi hari ini diampu oleh Ibu Sri yang sekaligus merupakan wali kelas kami, kelas 8.

"Wa'alaikumsalaam warahmatullaah wabarokatuh." Ibu sri menjawab seraya meletakkan buku bahan ajaran yang ia bawa di atas meja guru.

"Selamat pagi anak-anak Ibu, silakan Kembali duduk." Lanjut Ibu sri dengan sapaan khasnya yang lembut dan riang.

Ibu Sri adalah guru yang diidolakan oleh banyak siswa di sekolah ini, terutama oleh kelasku. Pribadinya yang lembut, penyayang dan periang tentu disenangi anak didiknya. Bahkan Ibu Sri sangat dekat dan akrab dengan siswa. Beberapa kali Ibu sri membawa makanan hasil masakannya di rumah untuk dimakan bersama anak asuhnya di sekolah. Biasanya hal ini rutin terjadi Ketika pulang sekolah di hari sabtu. Ibu Sri menyebutnya "kebersamaan menjelang hari libur." Meski apa pun Namanya, kami tidak terlalu menacuhkan. Karena kami sendiri memiliki sebutan lain yaitu "sesajen Pak Asep". Bukan tanpa alasan kami menamainya demikian. Hal itu dikarenakan setiap kali kami makan bersama masakan Ibu Sri ini, Pak Asep pasti ikut-ikutan. Dan hanya dalam forum inilah, Pak Asep bisa tertawa, tidak marah-marah lagi. Tentu dari situasi ini kami menyimpulkan bahwa masakan Bu Sri adalah 'sesajen' yang manjur untuk meredam keliaran Pak Asep.

"Sudah siap ya, belajar hari ini?" tanya bu Sri dengan jari tangannya merapikan kerudung agar segitiganya berdiri tegak layaknya keadilan.

"Hari ini, kita akan belajar mengenai bangun ruang." Lanjut bu Sri sebari mengambil kapur di ujung kanan mejanya.

"Siap Bu." Jawab kami kompak dan semangat.

Ya, meskipun ini adalah matematika. Dimana kebanyakan orang mungkin merasa malas mengikuti kelas dengan pelajaran ini, terutama murid laki-laki. Apalagi dilangsungkan di jam pertama, hari senin, setelah baru saja selesai mengikuti upacara bendera. Sungguh, keadaan yang genting. Namun hal itu tidak berlaku bagi kami. Kami akui bahwa mata pelajaran ini merupakan mata pelajaran favorit yang akan dengan senang hati kami ikuti kelasnya. Asal dengan satu syarat, gurunya harus Bu Sri.

Karena pernah satu Ketika bu Sri berhalangan hadir, kemudian kelas matematika kami diisi oleh Pak Asep. Wah, seisi kelas kami seperti sedang menjadi tawanan perang dunia ke-II, yang apabila kami diajukan suatu pertanyaan namun tidak bisa menjawab, maka kami akan ditembak di tempat.

Tapi memang seperti itu, 'tangan dewa' Pak Asep juga digunakan disini. Yaitu untuk melempar potongan kapur kepada siapa saja yang tidak serius atau tidak bisa menjawab setelah ia menerangkan berkal-kali, dengan akurasi tembakannya yang mencapai 98% dan kecepatan peluru yang dilontarkan menyamai kecepatan motto GP di track lurus.

Tentu hal ini menjadi tantangan yang menakutkan bagi kami. Bahkan, ada diantara teman kami yang kalah sebelum bertempur. Dengan berdalih sakit kemudian pergi ke UKS, dan bisa dipastikan dia sembuh ketika jam pelajaran Pak Asep telah usai.

"Baik, kalau begitu. Mari kita mulai." Ujar bu Sri kemudian menghadap papan tulis.

Namun hampir saja kapur di tangan bu Sri bersentuhan dengan papan tulis, bu Sri kemudian membalikkan Kembali badannya dan menghadap ke arah kami seraya berkata

"oh, ibu lupa. Hari ini kita kedatangan murid baru ya?" dengan tersenyum. "kamu ya nak?" lanjut Bu Sri melihat ke arah Liana. Tepatnya di meja paling depan, jajaran sebelah meja tempat dudukku.

"iya bu, saya." jawab Liana lembut sedikit malu.

Ibu Sri Kembali menghampiri kursi guru untuk kemudian duduk. "ayo nak, silakan ke depan, perkenalkan diri."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Liana, I'll be thereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang