Hal yang membuatku senang
adalah bisa menjadi diri sendiri
- Vishaka Ayudia Lesmana -====◾◽◾====
Pengumuman penerimaan siswa baru di SMA Bright Sky memenuhi media massa seluruh penjuru negeri. Tak ada satu pun media, entah itu cetak maupun elektronik yang tidak menerbitkan berita tersebut.
Vishaka mendengus kesal sembari meletakkan kembali remote tv yang sedari tadi ia pegang. Setiap tombol yang ia tekan menampilkan berita sama yang membuat kepalanya pening.
Koran yang tergeletak sembarang di meja juga membuat kedua bola matanya berotasi.
Bosan.
Shaka bosan melihat berbagai media menampilkan berita tentang sekolah yang ia tempati. Lebih tepatnya sekolah milik wanita yang ia panggil Mama.
Sekolah swasta terbaik bertaraf internasional yang mendapat peringkat pertama di Indonesia.
Matanya memejam kala suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di seluruh ruangan.
Tak lama, seorang wanita berperawakan tinggi dengan gaya elegan bak model muncul dari arah ruang tamu.
"Kenapa masih bersantai, Shaka?"
Pertanyaan sekaligus instruksi dari Anjani membuat Shaka beranjak dari tempatnya menuju kamar. Melewati Anjani begitu saja tanpa sepatah kata.
"Rekapitulasi harus selesai malam ini," Anjani kembali membuka suara.
Shaka menghentikan langkah saat dirinya baru saja menginjak anak tangga pertama.
"Satu Minggu sebelum tahun ajaran baru, pembagian kelas harus sudah diumumkan."
Kali ini, Shaka berbalik, menatap malas wanita yang baru saja menginterupsinya.
"Iya, Ma." Kemudian kakinya kembali melangkah menaiki anak tangga dengan cepat.
Shaka benar-benar tidak sabar menghempaskan tubuh di kasur king size miliknya. Setiap hari, ia hanya harus mendengarkan perintah tak terbantah dari Anjani.
Dengusan kasar dan kesediannya melakukan perintah itu selalu menjadi jawaban. Meskipun sebenarnya bukan itu yang ingin ia katakan.
Sekali saja ia ingin memberikan jawaban sebagai penolakan, tapi rasanya keinginan itu tak mungkin terjadi.
◾◽◾
Sebelum langkahnya berjalan menuju meja belajar, Shaka berhenti di depan cermin panjang yang memantulkan seluruh tubuhnya.
Shaka merasa menatap orang lain di cermin itu. Bukan, Shaka yang ia kenal bukan seperti ini. Memang tak ada yang berubah dari parasnya.
Bola mata sayu dengan lensa coklat pekat masih sama seperti saat ia menginjakkan kaki di bumi. Hidung mancung dan bibir tipis di wajah itu juga masih sama seperti saat ia sering kali terjatuh mencium tanah di kebun bawang.
Hanya rambut dan kulitnya saja yang berubah. Dulu Shaka tak pernah mau memanjangkan rambut. Tapi sekarang, rambut panjang menjadi tuntutan.
Dulu, kulitnya sedikit kecoklatan karena kesehariannya yang bergelut dengan terik matahari. Tapi sekarang, kulitnya seolah disulap menjadi seputih susu dengan berbagai produk perawatan kulit mahal yang Anjani beli untuknya.
Dalam sekejap hidupnya berubah bak seorang putri.
Shaka tersenyum masam.
Entah kenapa hal yang sepatutnya disyukuri tak pernah ia syukuri sedikit pun.
Kehidupan sederhana yang dulu ia jalankan jauh lebih menyenangkan daripada hidup dengan kemewahan tetapi harus bertahan dengan segala pengekangan.
Untuk kesekian kalinya, Shaka menghela napas pelan. Tak ada gunanya juga merenungi perubahan hidup yang hampir 10 tahun ia jalankan.
Shaka hanya perlu menerima takdir yang telah Tuhan berikan. Walaupun luka itu masih membenam dan sama sekali belum beranjak barang sedetikpun.
Komputer yang nangkring di meja belajar itu seolah melambai tangan pada Shaka untuk segera dinyalakan.
Shaka menarik napas panjang.
"Oke...hari ini kita harus kencan lagi, Bubu."
Shaka mengikat rambutnya asal dan mulai menekan tombol power pertanda kencannya akan segera berlangsung.
Saking seringnya Shaka berkutat dengan komputer, ia memutuskan untuk memberikan nama pada komputer itu seperti hewan peliharaan.
Data siswa dalam Microsoft Excel muncul di layar. Tanda merah hampir memenuhi seluruh layar. Padahal nilai-nilai itu sudah cukup bagus menurut Shaka.
Tapi mau bagaimana lagi, SMA Bright Sky menuntut muridnya untuk mendapatka nilai tinggi. Hanya ada dua pilihan untuk menjadi siswa di sana. Kaya dan pintar.
Sebodoh apa pun orang itu, kalau kaya ya pasti bisa masuk Bright Sky. Semiskin apa pun orang itu, kalau pintar ya bisa juga mendapat kesempatan mengikuti program beasiswa.
Namun tetap saja harta lebih berkuasa di atas segalanya. Kalau ada yang kaya dan pintar, itu keberuntungan yang bisa menjadi nilai plus.
Tapi saat ini, Shaka tidak perlu mengindahkan tanda merah itu. Ia hanya perlu merekap nilai siswa yang bersih tanpa tanda.
Shaka tidak mengerti. Apakah sekolah sebesar Bright Sky tidak punya staf untuk melakukan hal semacam ini? Kenapa pula harus Shaka yang notabenenya adalah siswa. Tetapi sekali lagi, Shaka tak bisa melakukan apa-apa selain menurut.
Setelah kurang lebih satu jam Shaka memfokuskan jemari dan matanya pada keyboard dan layar, ia mengangkat kedua tangannya sebagai peregangan.
Melelahkan memang, meskipun yang Shaka lakukan hanya duduk berdiam diri.
Ia meneguk segelas air putih di samping komputer.
Tanpa berlama-lama, aktivitasnya kembali berlanjut. Ia mengarahkan kursor pada folder bertuliskan angka 11. Matanya membelalak saat deretan nama berjajar panjang memenuhi layar hingga barisan seratus lebih.
"Wah gila emang Bright Sky ini. Bahkan anak kelas 11 juga banyak yang daftar lagi." Shaka menggelengkan kepalanya tak percaya.
Sebelum akhirnya mendecak, "Sayang banget. Padahal kalian tuh diem aja di sekolah lama. Gak usah pindah ke Bright Sky. Gak tau aja kalian bentar lagi masuk kandang singa."
Setelah puas bermonolog, Shaka kembali melanjutkan tugasnya.
Namun, satu nama diantara deretan nama lain membuat matanya menyipit.
Ini bukan lo kan?
Batin Shaka sembari tak henti menggeser kursor untuk mencari kolom berisi data lengkap si pemilik nama.
◾◽◾
Yeayy selesai juga bab pertama...
Mohon dukungannya ya teman-teman ...
Masih pemula, jadi kritik dan saran masih sangat dibutuhkan..🙏
🔔Jan lupa vote and commentnya ..👌👌
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOKROM
Teen Fiction[FOLLOW DULU YUK SEBELUM BACA] "Gue minta sampai kapan pun, lo jangan suka sama gue!" - Vishaka Ayudia Lesmana "Permintaan lo gak susah, Sha. Lagian lo tau sendiri gue udah punya pacar." - Danendra Candrakumara Hidup tanpa warna seorang gadis berna...