Part 1 - Hai, Namaku Nakabayashi Noa.

655 423 845
                                    

"Nao-chan, sudah siap?"

Terdengar suara Papa dari lantai bawah, Nao berdecak dan membalasnya akan turun lima menit lagi. Nao merebahkan tubuhnya ke ranjang empuknya, memperhatikan langit-langit kamar yang didominasi warna putih bercampur semburat biru, ungu, dan jingga, seperti senja.

Nao benci hidupnya.

Sepertinya hidupnya ini bukan miliknya, melainkan milik Papanya.

Bagaimana tidak? Ia harus mengikuti semua keinginan Papa, mulai dari meninggalkan dunia musik, lalu masuk figure skating dan mendapatkan medali sebanyak-banyaknya, kemudian Papa akan dengan bangga memamerkannya.

Riya sekali, begitu pikir Nao.

Nao dikekang, sudah seperti Rapunzel yang dikurung penyihir di menara tinggi. Tapi bedanya, Nao masih bisa merasakan keramaian kota dan bercengkrama dengan teman-teman.

Jujur, Nao lelah dikekang oleh Papa.

"Nao-chan, cepat! Kita bisa terlambat." Suara Papa kembali terdengar, kali ini nadanya lebih tinggi, Nao langsung meraih ransel yang berisi sepatu skate dan segera melesat turun ke lantai bawah.

"Maaf, Papa." Nao menunduk saat melihat Papa berdiri di depan tangga, Papa menggeleng seraya memijit pangkal hidungnya, kemudian keluar terlebih dahulu.

Nao menghembuskan napas panjang, ia memegangi dadanya sambil melihat jam tangan denyut jantungnya, masih normal, syukurlah.

Dalam hati ia berharap, agar benda yang melingkar di tangannya ini tidak berbunyi, setidaknya untuk hari ini.

──

Berulang kali Papa meneriakan 'ganbatte' kepada Nao, dan berulang kali juga Nao terjatuh gara-gara tidak fokus atau tubuhnya kurang seimbang.

Beberapa kali Nao mengecek jam tangannya, untungnya masih normal. Pasalnya, akan sangat menyakitkan bila jam itu berbunyi.

Gerakan yang Nao pelajari hari ini adalah lompatan lutz. Sebenarnya gerakan itu sudah dari minggu lalu ia pelajari, namun karena masih tidak bisa, ia mengulanginya hari ini.

"Ayo Nao-chan, tunjukkin ke Papa kalau kamu bisa!"

Nao terdiam sejenak, ia menghembuskan napas, mengeluarkan semua rasa sesak di dadanya. Nao lelah terus menerus seperti ini.

Tapi, jauh di lubuk hati Nao, ia tidak mau membuat Papa kecewa.

Ia menatap area ice rink di hadapannya, dengan bekal nekat dan usaha ia mencoba lagi gerakan itu. Berhasil! Tapi tak lama tubuhnya kehilangan keseimbangan dan ia terjatuh.

"Papa ....  " Nao menyingkapkan celana panjangnya dan melihat memar berwarna biru kemerahan di area tulang kering, atensinya beralih ke Papa yang tidak peduli padanya.

Papa menjauh dari area ice rink dan mengobrol dengan seorang pelatih, dari kejauhan Nao hanya menatap nanar keduanya.

Tak lama seseorang menepuk bahu Nao dari belakang, nampak pemuda sebayanya tengah mengulurkan tangan seraya tersenyum, Nao menyambut uluran tangannya dan pemuda itu membawanya ke tempat duduk.

Pemuda itu menggerakkan tangannya, segera Nao tangkap maksud dari gerakan tangan itu, ia di suruh diam sebentar.

Nao menunggu pemuda itu sembari menggulung celananya lebih tinggi, memar itu terlihat sangat jelas, Nao takut kakinya cedera parah atau ... ah Nao tidak ingin berpikiran buruk.

Pemuda itu datang dengan membawa kotak P3K, ia begitu telaten. Terlihat bagaimana ia membersihkan luka sampai membalutnya menggunakan perban.

Selesai, kaki Nao terbalut dengan rapi.

Pemuda itu meletakkan kotak P3K di bawah kaki kursi, ia pergi sebentar kemudian datang kembali membawa kotak kuning cerah bergambar matahari.

Di dalamnya ada dua potong sandwich isi daging, ia memberikan salah satunya pada Nao, Nao merasa senang.

Beberapa menit tidak ada obrolan dari keduanya. Nao juga merasa heran, sedari tadi pemuda di sebelahnya hanya diam. Nao berpikir sebentar, kemudian ia berinisiatif memulai obrolan.

"Hai, namamu siapa?" tanya Nao seraya menoel bahu, pemuda itu sedikit terkejut kemudian menoleh, ia menggerakkan jemarinya membentuk isyarat-isyarat.

Tangannya melambai beberapa kali, seperti mengatakan 'hai'?

"Hai ...,"

Kemudian dua jarinya—jempol dan telunjuk—menggaris di telapak tangan kiri, seperti gerakan menulis, lalu menunjuk dirinya.

"Namaku ...,"

Dan jemarinya membentuk huruf demi huruf yang pernah Nao pelajari saat kelas bahasa isyarat dulu.

"Nakabayashi Noa. Salam kenal."

Setelah itu ia tersenyum, senyum yang sangat manis.

Koishiteru. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang