Prolog

0 0 0
                                    

Hujan petir melanda kota Pekanbaru pada malam itu. Suasana dalam rumah sakit pemerintah yang tampak ramai dengan pasien membuat seorang gadis serta adik dan ibunya ketar-ketir.

"Ma, daritadi kok dokternya nggak datang-datang?" Ucap gadis dengan wajah paniknya.

"Tunggu sebentar disini. Mama mau beli tisu keluar"

Gadis itu menatap lirih kearah ranjang rumah sakit dimana adiknya terbaring lemah dengan nafas yang tersendat.

"Kak, mana dokternya? Dada aku sakit"

"Bentar ya. Sabar. Dokternya lagi jalan kesini kok"

"Aku udah nggak tahan kak. Tolong, sakit banget" gadis bernama Dinda itu memegang erat tangan adiknya yang sudah mendingin.

"Ya Allah, tolonglah hamba" do'a nya lirih sembari menahan sesak dalam dirinya.

Tidak lama kemudian, seorang perawat membawa alat entah apa namanya mendekati mereka.

"Sebelumnya adik pernah keluar kota?" Tanya perawat itu dengan alat ditangannya sembari mengecek keadaan adiknya.

"Tiga bulan yang lalu dia pulang kampung"

"Kita cek tensi dulu ya" adiknya yang terbaring lemah itupun mengangguk sembari mengatur nafasnya yang masih sesak.

"Sesak sekali dokter" lirih adiknya lagi membuat Dinda menahan Isak tangisnya. Dia merasakan perasaan tidak enak sedari tadi.

"Oke, tunggu bentar ya" perawat tadi pergi meninggalkan mereka dengan raut wajah khawatir.

"Kak, sakit"

"Sabar ya" hanya itu yang bisa ia katakan pada adiknya itu.

"Gimana? Dokter udah periksa tadi?" Mama mereka datang dengan nafas yang tersengal menatap khawatir kearah anaknya yang terbaring di ranjang.

"Sudah. Hasilnya belum keluar"

Ia melihat perawat tadi tengah bercengkrama dengan perawat lainnya. Mereka entah berbicara apa membuat Dinda mati penasaran.

Tidak lama, perawat beserta dokter lainnya mendekati ranjang kami dengan membawa alat-alat yang ia tidak tahu namanya.

Tampak adiknya itu sudah mulai diam membuat Dinda beserta ibunya panik.

"Dokter, kenapa anak saya dok?"

Dinda mencoba menenangkan ibunya yang mulai histeris.

"Dia cuma pingsan ma"

"Nggak. Dia nggak pingsan. Dokter tolong dokter. Anak saya"

"Maa.."

Para medis itupun memeriksa adiknya dengan cepat. Sampai perawat memberi adiknya pemompa jantung membuat ia kelimpungan.

"Ya Allah, jangann...." Batinnya putus asa.

Raut wajah mereka mendadak ketir. Mereka membereskan alat mereka dengan tenang lalu berkata..

"Maaf buk, anak ibu sudah tidak ada. Pasien wafat Hari Sabtu, tanggal 7 November 2020 pada pukul 21.45 WIB "

Duaaarr

Suara gemuruh petir bersamaan dengan ucapan paramedis itupun membuat Dinda syok seketika.

"YA ALLAH!!!"

Dinda menatap ibunya yang terkulai lemas. Ia tidak bisa tenang. Hatinya hancur berkeping-keping.

Adiknya, yang selama ini tidak terlalu akur dengannya meninggalkan mereka begitu saja.

Wajahnya yang pucat cantik membuat air mata Dinda tidak kunjung keluar. Seolah-olah air mata gadis itu mengering.

Ia mendekati ibunya dengan lemas lalu memeluknya erat sangat erat.

"Ma, mungkin ini yang terbaik. Allah sayang sama Risa. Kita harus ikhlas ma"

"Nggak. Dia nggak pergi. Dia pingsan aja. Nanti dia bangun.. dia nggak pergi Din... Dia nggak pergi"

"Ma, mama nggak boleh gitu. Nanti Risa sedih lihat kita. Jangan ya ma. Kita harus ikhlas" ucap lirih gadis itu.

Hanya berselimutkan Hoodie yang dipakai Risa lah yang menutup tubuh kakunya.

"Kakak ikhlas Sa. Kamu bahagia disana ya. Kami selalu mencintaimu sampai kapanpun" bisiknya tepat ditelinga tubuh kaku itu.

🖤🖤🖤🖤🖤

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TITIK TERBAIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang