Dengan lesu, Alin melangkah ke luar dari kelasnya. Melihat Alin tak seperti biasanya, Karuna menyamai langkahnya dengan Alin.
Alin menoleh. “Apa?”
Karuna tersenyum. “Kenapa?”
“Apa sih lo?”
Karuna menahan tawanya.
“Stres lo.”
“Gue penasaran aja sama orang yang gak semangat pulang dari sekolah yang suram ini.”
“Muka lo suram. Kalo lo gak ke sekolah, nanti lo mau dapat ilmu dari mana?”
“Oh jadi lo ada di pihak sekolah? Padahal dapat ilmu bisa dari mana aja.”
Alin mendengus kesal. “Pulang sana lo.”
Karuna menarik tali tas Alin yang membuat Alin mengikuti langkahnya.
*
*
*
Alin masih terpaku menatap menu yang ada di hadapannya. “Ngapain lo bawa gue ke sini?”
“Pesan aja dulu, terus nanti ceritain masalah yang ada dalam otak lo itu.”
Alin menghela nafas sebelum akhirnya memesan es krim berisi strawberry dan semangka segar.
“Jadi, apa yang ganggu mood lo?”, tanya Karuna sesaat setelah pesanan keduanya datang.
“Ntar lo gak percaya sama gue. Males.”, ucap Alin seraya menyuap potongan strawberry ke dalam mulutnya.
“Cerita aja dulu, percaya atau gak belakangan.”
“Tuh kan.”
Karuna terkekeh. “Cerita aja, gue percaya lo kok.”
“Heera cuma manfaatin Tarendra kayaknya.”
“Kayaknya? Kok lo ragu?”
“Ya gimana.. Tadi gue gak sengaja denger percakapan dia sama temen-temennya.”
“Biarin aja selagi Tarendra gak dirugiin. Lo tau sendiri dia orangnya gimana. Kalo gue liat sejauh ini paling antar-jemput Heera aja. Rugi bensin doang.”
Alin mengangguk. “Kalau di ftv supir dijadiin pacar. Kalau di dunia nyata pacar dijadiin supir.”, ucapnya polos yang membuat Karuna tertawa lepas.
Alin dengan sigap memukul lengan Karuna. “Kenapa sih lo ketawa kek orang kesetanan? Malu dih banyak yang liat ke sini.”
“Gue lagi kesurupan Spongebob. Gue takut banget kotak tertawa gue rusak.”, ceplos Karuna yang berhasil membuat Alin tertawa.
“Kalo ada apa-apa cerita aja ke gue. Gue gak keberatan. Jangan simpen semuanya sendiri, apalagi orang kek lo dikit-dikit dipikirin.”, ucap Karuna jujur.
“Ay ay captain!”
“Kapan lo mulai sadar kalo lo suka Tarendra?”, tanya Karuna tiba-tiba.
“Ha?”, hati Alin melongos mendengar pertanyaan Karuna.
“Lo suka Tarendra kan?”, tanya Karuna memastikan.
“Kalo gak kenapa, kalo iya kenapa?”
“Ya gak kenapa-napa. Mastiin doang.”
“Terus lo sendiri gimana? Gak tertarik sama Nami?”
“Gak tulus.”, jawab Karuna spontan.
“Maksud lo?”
“Gue tau dari awal dia jadiin lo temen cuma buat deketin Tarendra atau gue. Mungkin gue terkesan beralasan, tapi gue emang gak suka caranya.”
“Nami gitu?”
Karuna mengangguk. “Coba gue tanya. Dia pernah chat lo di luar sekolah? Nanyain lo, bukan gue atau Tarendra.”
Alin mengecek handphone miliknya lalu menggeleng. Ia menekuk wajahnya. “Bener-bener gak ada yang bisa dipercaya. Nyari temen susah ya. Sebelum-sebelumnya juga gitu.”, ucapnya sambil cemberut.
Karuna menepuk-nepuk kepala Alin pelan. “Gak penting punya banyak temen yang gak bisa ngertiin lo. Sedikit atau bahkan cuma satu temen tapi ngertiin lo aja udah cukup Lin.”
“Na, gue takut ketombe gue berguguran.”, ucap Alin mengalihkan pembicaraan.
Karuna menarik tangannya. “Mau nangis ya nangis aja Lin, gak usah ditahan. Emang lo gak kenapa-napa?”
Mata Alin mulai berkaca-kaca. “Salah lo nih nanya gue 'emangnya gak kenapa-napa', jadinya gue mau nangis. Sekuat apa gue nahan air mata gue, kalo udah ditanya gitu pasti gue nangis.”
“Mau nangis aja lo masih cerewet. Kenapa sih?”, kekeh Karuna gemas.
Alin meremas sendok di tangannya. “Ntar kalo gue nangis di sini pasti dikira lo jahatin-”
Ucapan Alin terpotong saat Karuna tiba-tiba saja meletakkan jaket miliknya di atas kepala Alin, bermaksud ingin menutupi wajah Alin yang sudah mulai basah karena air matanya. “Beres kan?”, ucap Karuna santai lalu menyeruput es krim miliknya yang hampir mencair.
“Es krim gue jangan dimakan”, pinta Alin disela tangisnya dari balik jaket Karuna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitterlove [On Going]
General FictionJika ini cinta, aku ingin memberi titik diakhirnya. Cinta. Ya, seperti itu. Aku tak ingin meletakkan tanda tanya disana karena itu artinya ragu. Aku juga tak ingin meletakkan tanda seru disana karena itu terkesan memaksa. Tapi, mengapa harus kau? Ak...