1

5 0 0
                                    

Awal Sebuah Rasa

Malam hening dengan hawa yang dingin, menyapa ramah siapapun yang tinggal di planet bernama Bumi ini. Udara dingin membuat bulu kuduk merinding jika menerpa kulit, menggigil. Meski belum terlalu malam, pukul 8, namun keadaan kota ini sudah begitu sepi.

Di sudut rumah, Yasmin, seorang remaja yang baru memasuki sekolah menengah atas, sedang terpaku pada secarik kertas yang ia pegang sedari tadi.

Ia mengabsen terus menerus tulisan di kertas tersebut, membaca satu persatu daftar barang yang harus ia bawa untuk besok.

Maklum saja, esok merupakan hari pertamanya memulai perjalanan duduk di bangku SMA.

“Astaghfirullahaladzim…. Aku belum beli pin bendera” ucapnya terkaget.

“yaah, mana udah malem lagi”

Semenit kemudian Yasmin terlihat memencet tombol call kontak seseorang di whatsapp.

“haloo, Gar… kamu punya pin bendera berapa?”

“1 doang Yas, kenapa?” jawab seseorang di seberang telepon

“anterin aku yuk, lupa tadi gak kebeli”

“yaudah ayok, gue tunggu di depan rumah”

“sipp, thanks sob”

Tak ada 15 menit, mereka sudah sampai di rumah masing-masing. Setelah sebelumnya Yasmin mengucapkan terima kasih terlebih dahulu pada lelaki tersebut.

“dari mana kak?”

“abis beli pin bendera dek”

“yaah tadinya aku ikut, sekalian beli es krim”

“ya maap… tadi kakak buru-buru banget soalnya”

“huuuuu, dasar” ucap gadis manis bernama Rasty, adiknya.

“cieeh ngambek”

***

“Yasmiiiinn”

“siap kak” jawab Yasmin dengan tegas

“kenapa gak pakai topi?!” tegur seorang panitia MPLS, bernama Hanif.

Kini Yasmin membisu. Yah begitulah, sifat cerobohnya ini memang agak sulit ia hilangkan dari dulu ketika mengikuti kegiatan seperti ini.

“siap, ketinggalan kak”

“hebat ya, murid baru sekarang, asal jawab doang gak tahu malu. Kenapa gak sekalian kamu aja yang ketinggalan, huh?” sahut senior perempuan yang lain.

“bagi murid yang atributnya gak lengkap maju ke depan, dalam hitungan ketiga…”

“satu…

Dua…

Tiga…”

Ada 14 orang maju karena alasan yang hampir sama dengan Yasmin.
Jadilah mereka mendapat hukuman untuk memunguti sampah diakhir sesi mpls hari itu.

“nih,”
Ucap Edgar, lelaki yang mengantarnya membeli pin semalam, sambal menyodorkan minuman botol pada Yasmin.

“thanks ya” jawab Yasmin dengan menyunggingkan senyum lesung pipitnya.

Lelaki yang disapa Edgar ini, adalah sahabat Yasmin sejak kecil. Hubungan keluarga mereka pun sangat baik.

Bahkan Edgar sering makan bersama keluarga Yasmin, ketika Dewi, ibunya sedang lembur di kantor.

Ayahnya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sehingga tinggallah hanya ia dan ibunya saja di rumah sebesar itu.

Saat Edgar dan keluarganya pindah ke kompleks rumah Yasmin, Edgar sangatlah pendiam. Mungkin karena terpaksa harus pindah dari rumah lama dan berpisah dengan teman-temannya dulu, sehingga saat itu Edgar seperti anak yang ngambek dan mogok bicara.

Hingga lama-kelamaan Yasmin dan Rasty berhasil melunakkan hatinya, hingga Edgar mau bicara kembali. Keusilan Yasmin tentunya.

Kini Edgar tumbuh menjadi seorang lelaki tampan, tinggi, dan pandai dan menjadi siswa baru yang diidolakan para siswi di sekolahnya.

***

Sudah hampir sore, mereka baru selesai berberes dan bersiap pulang. Sebenarnya, Edgar tidak harus sesore itu untuk pulang. Namun, ia lebih memilih menunggu Yasmin yang mendapat hukuman hari ini hingga selesai.

Lelah, selelah-lelahnya. Begitu ia selesai memungut sampah tadi siang, tiba-tiba angin menghamparkan daun-daun hingga berguguran. Alhasil, ia harus memunguti dedaunan yang berserakan.

Sudah 3 hari lamanya, MPLS dilaksanakan. Hal ini membuat perasaan Yasmin agak lega. Sudah cukup baginya menjadi bahan olok-olokkan para seniornya kemarin.
Kini ia memakai seragam resmi putih abu-abu sambil berdiri di depan cermin tinggi di sudut kamarnya.
“Masyaallah, anak mama, sudah jadi gadis ya sekarang” kata Gina, ibu Yasmin yang tiba-tiba masuk karena memang pintu kamar yang terbuka.

Yasmin tersenyum memandang mamanya dan memutar tubuhnya bak model.

“tapi ini waktunya sarapan Yasmiin… buruan kalau gak mau terlambat” ucap Gina tegas, dan berbalik.

Hari ini, Yasmin terpaksa harus menaiki ojol untuk berangkat sekolah. Karena ayahnya terburu-buru ke kantor bersama sang sopir.

Gina dan Andre, suaminya atau ayah Yasmin dan Rasty, selalu mendidik kedua putrinya untuk mandiri, karena sang sopir tidak bisa selalu siaga mengantar jemput mereka.

“Yas…” panggil seseorang dari belakang dengan senyum

Edgar, ya.

Lelaki yang selama 10 tahun ini menjadi teman kecilnya, seketika membuat Yasmin pangling hanya dengan penampilannya sekarang ini. Seragam putih abu-abu yang melekat ditubuhnya sangat cocok.

Ada sedikit yang aneh dalam hati Yasmin ketika memandang Edgar. Desiran tak karuan itu datang tiba-tiba mengacaukan konsentrasinya.

Ia terpesona.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Story: The Red DaisyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang