Menunggu sesuatu yang tidak pasti adalah hal paling ngenes dari apapun. Sehari rasa sebulan, sebulan rasa seabad, seabad rasa... eh, kelamaan ya?
Bak keruntuhan lotere sekebon, saat akhirnya aku menerima panggilan dari sebuah rumah sakit swasta. Tak peduli selentingan cerita miring yang kudengar dari teman-teman tentang tempat itu.
Keluarga kami hidup dari gaji pensiun ayah yang tak seberapa. Masih ada dua adikku yang butuh biaya sekolah. Demi menutup kekurangan, ibu pontang panting berjualan kue. Aku ingin meringankan bebannya.
****
Lorong rumah sakit tampak lengang. Dari arah berlawanan aku bisa melihat seorang pria berseragam securiti sedang berjalan sendirian. Tengah malam seperti ini dia berkeliling memantau keadaan.
Tap... tap....
Bunyi derap sepatunya beradu dengan ubin terdengar jelas.
Pria itu mematikan lampu lorong satu persatu. Selasar yang awalnya terang benderang seketika menggelap. Dalam hati aku menggerutu karena harus melewati lorong ini lagi, sepulang dari apotek nanti.
Krieeet... krieeet....
Roda troli yang kuseret bunyinya berisik.
Baru setengah jalan aku menuju apotek. Sebagai perawat yang piket malam, tugasku menyiapkan obat untuk besok. Biasanya jam sepuluhan, aku sudah kembali dari apotek. Berhubung ada pasien baru, jadinya molor.
"Lampunya jangan dimatikan dulu, dong, Pak!" pintaku, saat kami berpapasan.
"Udah peraturannya gitu, Mbak. Kan masih ada lampu taman, hehe," kilah pria berkulit gelap itu, seraya memamerkan senyum lebar.
Ada beberapa lampu di taman, tetapi karena jarak cukup jauh, cahaya tidak sampai ke selasar. Suasana tetap remang.
"Harusnya satu jam yang lalu lampu di sebelah sini padam semua, soalnya ruang di sepanjang jalur ini tidak beroperasi lagi jam segini," tambahnya, tetap dengan senyum ramah.
"Ya sudah kalau gitu." Aku menghela napas, merasa percuma memintanya menyalakan lampu.
Ruang-ruang yang ada di rumah sakit ini didesain mengelilingi taman. Konon katanya sudah berdiri sejak jaman Belanda. Dilihat dari tampilan memang masih ada sentuhan kolonial dan terkesan tua. Meski bangunan tua tetapi temboknya yang berwarna putih selalu terlihat bersih karena rutin dicat ulang.
Sepasang tungkaiku kembali melangkah. Kudorong lagi troli yang membawa kertas-kertas permintaan obat. Pak sekuriti pun tak ambil pusing dengan keluhanku, terus melanjutkan tugasnya mematikan lampu sepanjang selasar.
Ruang piketku berada paling belakang bangunan, sedang posisi apotek paling depan. Bayangkan perjuanganku berjalan menyeret troli sendirian di tengah malam melewati lorong yang panjang dan sepi.
Hhh... gini amat nyari duit.
Kulirik arloji pada pergelangan tangan, jarum jam sudah menunjuk pukul dua belas lewat sepuluh menit. Kupacu kedua tungkai lebih cepat. Bunyi roda troli tambah berisik.
"Habis sholat subuh obat ruang Delima saya ambil," ujarku. Sebuah tray permintaan obat kudorong masuk ke dalam loket yang dibatasi kaca.
"Iya," sahut mereka bersamaan tanpa menolehku.
Dua wanita petugas apotek tampak sibuk menyiapkan obat. Troli bertuliskan Ruang Delima itu lalu kutinggalkan dalam sebuah ruang khusus bersama troli milik ruang lainnya, yang sudah lebih dahulu ada di situ.
Sekarang saatnya kembali ke ruangan. Momen ini yang paling tidak aku suka.
Dengan dada berdebar aku melangkah. Lorong panjang nan gelap serta deretan pintu yang kulalui seakan ingin menelan seluruh tubuhku.Ruang-ruang besar di balik pintu itu hanya digunakan di siang hari. Dapur, ruang mesin, ruang loundry, ruang steril dan gudang.
Ruang perawatan umum berada di jalur terpisah. Kantor perawatnya saling berdekatan, berbeda dengan Ruang Delima yang terpencil karena khusus untuk orang bersalin.
Kupacu langkah tergesa, mata menatap lurus ke depan. Bunyi detak sepatu sendiri menjadi backsound yang membuat suasana tambah mencekam.
Wuuussshhh....
Angin kencang bertiup, saat aku melewati belokan angker.
Lorong berupa tikungan menuju ruang Delima itu hanya berupa Selasar panjang. Tidak ada ruang apapun kiri dan kanannya, Yang tampak hanya ilalang air yang tumbuh subur. Diberi julukan Belokan Angker karena katanya sering ada penampakan. Sebagai karyawan aku sendiri belum pernah mengalami. Kuharap itu cuma hoax.
Tubuh mungilku terasa oleng saking kencangnya tiupan angin. Jilbabku berkibar-kibar. Heran, angin bisa sekencang ini padahal cuaca baik-baik saja.
Bugk!
Seperti ada yang melempari punggungku dengan batu. Sakitnya terasa.
Kuberanikan diri menengok ke belakang. Tapi tidak ada siapa-siapa. Kaki lanjut melangkah.
Bugk!
Dilempar lagi.
Lemparan semakin keras. Benda maupun makhluk yang melempari tak tampak. Tubuhku mulai gemetar ketakutan. Tengkuk kini meremang.
Krossaakk!
Ilalang air yang rimbun itu tiba-tiba tersibak.
"Kyyaaaaaa!!!"
Aku menjerit sembari lari terbirit-birit. Tak berani mengamati makhluk apa yang menyibak ilalang.
****
"Kenapa kamu, dikejar setan?" Mbak Lila cengar-cengir, melihat aku tiba dengan napas tersengal.
"Capek, dikejar sama kenyataan," sahutku ngeles, sambil mengatur nafas. Malu ketahuan penakut.
Mbak Lila paling sering jadi partnerku shift malam. Dia salah satu bidan senior. Sebagai karyawan junior acara keluyuran keluar ruangan lebih banyak aku yang handle.
"Kenyataan harus dihadapi, bukannya dihindari,Yun, haha..." Wanita usia kepala empat itu tertawa tergelak.
"Lagi pula percuma lari, mereka ada di mana-mana," desisnya, memainkan kening.
"Mereka siapa, Mbak?" Mulutku mangap.
"Yang bikin kamu lari sampai ngos-ngosan gitu."
Kata-kata Mbak Lila membuat hawa malam ini semakin terasa horor. Aku menelan ludah cekat. Sepertinya dia tahu persis apa yang barusan aku alami.
"Minum dulu sana, bikin kopi! Bentar lagi kayanya ada yang lahiran" ujarnya yakin.
"Pasien yang mana lagi, kan nggak ada inpartu?" tanyaku heran.
Setahuku pasien yang baru masukpun bukan kasus kehamilan, tetapi kasus penyakit kandungan.
"Kamu nggak mencium aroma khas ini?" Mbak Lila mengendus.

KAMU SEDANG MEMBACA
MEREKA YANG DITANDAI
Misterio / SuspensoBanyak kejadian horor yang Yuni alami sejak bekerja di rumah sakit itu. Situasi kian mencekam dengan kematian orang-orang yang ditandai.