#1

1.9K 82 0
                                    

Menunggu sesuatu yang tidak pasti ketika kita sangat membutuhkannya adalah hal yang paling ngenes dari apapun. Sehari rasa sebulan, sebulan rasa seabad. Nyaris putus asa hingga bak durian runtuh sekebon di atas kepala ini saat aku akhirnya menerima surat panggilan dari sebuah rumah sakit swasta. Satu-satunya tempat yang memberi kesempatan pada fresh graduate macam aku.

Ibuku seorang single parent. Keluarga kami hidup dari gaji pensiun ayah yang tak seberapa. Masih ada dua adikku yang butuh biaya sekolah. Demi menutup kekurangan ibu pontang panting berjualan kue. Aku ingin meringankan bebannya.

****

Suasana lorong rumah sakit tampak lengang. Dari arah berlawanan kulihat seorang security  bertubuh tinggi besar berjalan sendiri. Tengah malam seperti ini dia memang harus berkeliling memantau keadaan.

"Tap ... tap ...."

Bunyi derap sepatunya beradu dengan ubin terdengar jelas.

Pria itu mematikan lampu lorong satu persatu untuk penghematan listrik. Lorong selasar yang awalnya terang benderang menjadi gelap. Dalam hati aku menggerutu karena harus melewati lorong gelap ini lagi sepulang dari apotek.

"Krieeet ... krieeet ...."

Roda troly yang kuseret menghasilkan bunyi berisik.

Aku baru setengah perjalanan dari ruang Delima menuju apotek. Sebagai perawat yang mendapat shift malam,  tugaskulah  menyiapkan obat pasien untuk esok pagi.

Biasanya jam sepuluhan malam, aku sudah kembali dari apotek. Berhubung harus melayani beberapa pasien baru, jadinya molor.

"Jangan dimatikan dulu, dong, Pak, lampunya!" pintaku saat kami berpapasan.

"Hehe, udah peraturannya begitu, Mbak.  Kan lampu taman masih nyala," kilah pria berkulit gelap itu seraya memamerkan sederet gigi pepsoden.

Ruang-ruang di rumah sakit ini didesain mengelilingi taman. Konon bangunannya sudah berdiri sejak jaman Belanda. Arsitektur masih ada sentuhan kolonial  dan terkesan tua. Meskipun bangunan tua bagian dinding selalu terlihat putih bersih karena rutin dicat ulang.

Ada beberapa lampu di taman. Namun, karena jarak yang lumayan jauh, cahaya tidak cukup untuk menerangi selasar. Suasana menjadi remang.

"Lampu taman kan jauh...," keluhku, mencebik.

"Harusnya satu jam yang lalu lampu di sebelah sini padam semua, Mbak. Soalnya ruang di sepanjang jalur ini tidak beroperasi lagi jam segini," terangnya.

"Ya sudah kalau begitu. Saya lanjut jalan lagi. Nanti kemalaman balik ke ruangan." Aku menghela napas, merasa percuma memintanya untuk menyalakan lampu lagi.

Sepasang tungkaiku melanjutkan langkah. Kudorong lagi troly yang  membawa kertas-kertas permintaan obat. Pak sekurity pun tak ambil pusing dengan keluhanku. Dia melanjutkan tugasnya mematikan lampu sepanjang selasar.

Jarak ruang Delima tempat tugasku ke apotek cukup jauh. Ruang Delima berada paling ujung dari bangunan rumah sakit, sedang apotek berada di depan. Area rumah sakit ini sangat luas.

Jangan tanya jarak yang harus kutempuh! Aku sendiri tidak tahu persis. Yang pasti bikin kaki pegel. Bayangkan perjuanganku berjalan menyeret troly sendirian di tengah malam.

'Hhh ... gini amat nyari duit.'

Kulirik jam pada pergelangan tangan, jarum jam sudah menunjuk pukul dua belas lewat sepuluh menit. Kupacu kedua tungkai lebih cepat. Suara roda troly tambah berisik.

"Habis sholat subuh saya ambil, Kak.  Troli ruang Delima," ujarku dari balik kaca. Sebuah tray permintaan obat kudorong masuk ke dalam loket apotek.

"Iya ...," sahut mereka bersamaan tanpa menolehku. Ada dua orang wanita petugas apotek yang tampak sibuk. Troli bertulis ruang Delima kemudian kumasukan ke dalam ruang khusus, lalu meninggalkannya.

Nah ... momen setelah inilah yang paling tidak aku suka. Kembali ke ruang Delima, aku yang  penakut harus melewati lorong sepi yang begitu panjang dan gelap. Buset! Berasa adu nyali!

Lorong panjang itu melewati ruangan yang hanya beraktivitas di siang hari, seperti dapur, ruang mesin, ruang pakaian, gudang.

Mau tahu ke

Ruang Delima adalah ruang khusus yang mencakup ruang bersalin, perawatan nifas dan bayi. Memang sengaja diletakan terpisah agar lebih steril.

Sebenarnya ada gerbang tersendiri yang terhubung langsung keluar. Tapi, untuk beraktifitas dengan ruangan lain terpaksa harus melewati lorong di dalam.

Ruang perawatan orang sakit berada di jalur berbeda. Kantor-kantor perawatnya masih saling berdekatan. Tidak sehoror kami yang ditempatkan di ruang Delima.

Wuuussshhh ... wuuussshhh ....

Angin kencang tiba-tiba bertiup, tepat saat aku melewati belokan angker.

'Belokan Angker' kami menjulukinya adalah sebuah belokan selasar yang mengarah ke Ruang Delima. Di belokan itu tidak ada ruang apapun kiri dan kanannya. Hanya ilalang air setinggi kepala yang menutupi rawa. Bangunan rumah sakit berdiri di atas rawa. Konon ada dunia lain di situ.

Wuuussshhh ... wuuussshhh ....

Lagi-lagi angin berembus kencang dari arah samping. Mengibarkan hijab yang kupakai. Tubuh mungilku sedikit oleng berpegangan pagar selasar.

Tidak ada tanda cuaca buruk. Kenapa angin bisa sekencang ini?

Mulut tak berhenti komat-kamit mengucap dzikir. Kalau nyali sudah menyusut begini, tetap saja merinding walau beribu dzikir terucap.

Bugk!

Tubuhku dilempari sesuatu dari arah belakang.

"Astagfirullohal adziiim ...." Aku memegangi dada.

Siapa sih?

Kuberanikan diri menengok ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Kaki lanjut melangkah.

Bugk!

Lemparan semakin keras. Benda tak tampak. Tubuh mulai gemetar. Tengkuk meremang.

Krossaakk!

Ilalang air yang rimbun itu tiba-tiba tersibak.

"Kyyaaaaaa!!!"

Aku lari terbirit-birit. Tak berani mengamati makhluk apa yang menyibak ilalang.

****

"Kenapa kamu, Yun? Habis dikejar setan?" Mbak Lila cengar-cengir melihatku yang tiba di kantor perawat dengan nafas tersengal.

Dia tengah menulisi lembar-lembar file data pasien. Secangkir kopi ada di depan mejanya.

"Tauk, ah, Mbak. Ngeledek lagi," sahutku masih sibuk mengatur nafas. Menghempaskan pantat di bangku plastik.

Mbak Lila adalah seorang bidan senior. Maka untuk urusan seksi sibuk aku sebagai perawat juniorlah yang harus tahu diri. Kerjaan keluyuran ke ruang lain aku yang mengerjakan. Mbak Lila paling sering jadi partnerku shift malam.

"Kenapa juga harus lari? Kan ada di mana-mana." Mbak Lila semakin menambah suasana horor.

"Mbak ....," ujarku memelas. Mbak Lila malah menambah parah jiwa penakutku.

Wanita usia kepala empat itu tertawa tergelak.

"Minum dulu sana! Bikin kopi! Bentar lagi kayanya ada yang lahiran" ujarnya yakin.

"Lha, bukannya udah pada netas, Mbak? Pasien yang mana lagi?" tanyaku heran.

Setahuku pasien yang baru masukpun bukan kasus kehamilan, tetapi kasus penyakit kandungan.

"Hmm ... kamu gak mencium aromanya?" Mbak Lila mengendus.

Glek!

Iya, sih. Dari tadi aku napas ngos-ngosan, tidak menyadari akan bau khas yang sudah kukenal.

MEREKA YANG DITANDAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang