Sesuatu yang tajam terasa mengenai daun telinga. Spontan kutepis, mata lalu terbuka.
"Gaaak, gaaak ...." Suara serak terdengar sangat dekat dengan kepala.
Ternyata pelakunya seekor burung gagak hitam. Gegas dia mengepakkan sayap, lalu terbang menjauhiku. Rupanya hewan itu yang tadi mematuki telingaku. Apa dia pikir aku sudah jadi mayat?
"Air, air...." lirihku serak. Haus, tenggorokan kering.
Entah sudah berapa lama aku berada di tempat gelap ini. Seluruh tubuh sakit, kulit perih ditambah kaki kanan luar biasa nyeri. Agaknya aku terluka.
Kelopak mataku yang berat mengamati sekitar. Sinar matahari sedikit menerobos sela dedaunan. Sudah siang. Tubuh lemah tak berdaya. Bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini?
Sedikit kumiringkan tubuh setelah ingat sesuatu, lalu meraba-raba kantong celana bagian belakang.
Sial!
Ponselku sudah tidak ada. Kemungkinan tercecer sewaktu kabur tadi malam.
Kupindai lagi sekeliling. Hutan lebat mengepung, aroma lembab tanah serta dedaunan basah. Akar-akar pohon, panjang menjulur dari atas sana. Aku berada dalam jurang yang cukup dalam. Masih bisa kuingat jika tadi malam aku jatuh terguling ke dalam sini sebelum tak sadarkan diri.
Lulut kutekuk seraya meringis menahan sakit, tangan berusaha meraba kaki sebelah kanan, sedari tadi bagian tubuh yang itu terasa berdenyut. Kudapati benda semacam ranting telah menembus telapak kaki. Pantas luar biasa sakitnya.
Sial!
Air mata meleleh. Si Catur yang keras kepala akhirnya menangis terisak layaknya anak kecil. Harapanku Kunto mau kembali ke hutan ini mencariku. Itupun kalau dia selamat. Bagaimana kalau Kunto bernasib tak kalah apes dari aku?
"Aaargh!" teriakanku pecah, saat gagal untuk bangkit.
Beberapa kali kucoba, tetapi tetap tidak bisa. Sekujur tubuh linu, seperti habis dipukuli orang sekampung. Terengah-engah kuraih tumbuhan pakis dekat kepala, lalu menyumpal asal-asalan ke mulut. Tergesa kukunyah gumpalan daun berbau langu itu untuk mengusir rasa kering pada tenggorokan.
"Hueeekh!" Perutku menolak. Rumput yang telah berubah bentuk kumuntahkan.
.
.Harus memanjat ke atas jika tak mau mati sia-sia. Tapi, dengan kondisi kaki cedera, sepertinya bukan hal mudah.
Di bawah sini gelap. Bergidik ngeri aku, memikirkan satu kemungkinan ada ular yang sedang tidur dalam semak di dekatku.
Hati-hati aku coba meraba tanah di antara pakis yang tumbuh subur. Berharap menemukan benda yang bisa kugunakan untuk menopang tubuh. Namun, hanya mendapatkan daun basah yang telah membusuk, serta sengatan beberapa serangga pada lengan.
Aku tidak mau mati sia-sia, batinku.
Sambil tiarap tubuh mulai merayap mendekati satu akar yang bisa terjangkau. Mencengkram lalu mati-matian memanjatnya. Keringat dingin sekarang membasahi tubuh.
Harus bisa ... harus bisa!
Sedikit berhasil, tubuhku mulai naik. Kian ke atas, beban tubuh sendiri bertambah berat. Urat-urat lengan mengencang. Kedua telapak tangan sudah terasa kebas.
Sedikit lagi, sedikit lagi....
"Ayolah, mana ototmu, Kuli Pasar?!" geramku pada diri sendiri.
"Aaarg!"
Tenaga habis, pegangan terlepas.
Brukk!!
Punggung kembali terhempas dengan keras.
Gelap.
****
Seperti biasa raut yang telah dipenuhi kerutan itu hanya tersenyum, setiap aku membantah.
"Kebanyakan manusia akan menyadari arti bersyukur jika nikmatnya sudah dicabut oleh Tuhan, Tur. Baru sadar bahwa sehat itu nikmat setelah dia sakit. Baru sadar bahwa kenyang itu nikmat jika sudah merasakan lapar. Baru sadar kalau air putih saja saaangat nikmat, setelah dia kehausan."
Bisa kudengar dia menghela napas pelan, mata tua itu menatap langit.
"Begitu banyak nikmat yang sudah Tuhan beri setiap hari, tetapi kita tak pandai bersyukur ...."
"Bapak ...," lirihku.
"Bersabarlah karena Allah akan selalu bersama orang-orang yang sabar," bisiknya tepat di telinga.
"Bapaaak!!" seruku dalam mata terpejam.
"Huufth ...." Aku terjaga.
Wajah dan suara tenang bapak telah datang ke alam bawah sadarku. Aku rindu pada laki-laki tua itu. Hangat terasa meleleh di sudut mata.
Krossakk!
Bunyi ranting serta dedaunan yang tersibak.
Degh!
Mataku melebar menyaksikan salah satu akar pohon tampak bergerak. Menelan ludah gugup, menunggu makhluk hidup yang akan turun dari atas sana. Binatang, manusia ataukah hantu?
Semakin ke sini akar pohon itu semakin kuat berayun. Cukup berat beban yang sedang merayapinya. Mataku menatap hawas, tak berkedip. Detik-detik menegangkan, membuat jantung ini berdegup keras.
Satu kaki tampak menyembul dari atas, disusul satu kaki lainnya yang menopang pada akar pohon itu.
Manusiakah?
Kegugupanku masih tak berkurang. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi di tempat seperti ini. Jangan senang dulu, Tur!
Hup!
Dia melompat saat sudah dekat dengan dasar jurang. Wajah itu tidak begitu jelas. Dari siluet dan gesture tubuh kutebak dia seorang perempuan. Rambut yang panjang serta mengenakan terusan selutut.
Perempuan itu lalu mendekatiku. Mengamati beberapa saat sebelum wajahnya semakin mendekat. Benar tebakanku dia perempuan. Tanpa suara dia terus menatap lekat padaku. Aku diam tak bergeming, ingin tahu apa maunya. Mencoba membaca, orang ini bermaksud baik ataukah sebaliknya.
"Aaarghh!" Aku melolong kesakitan. Seenak perut dia menarik kaki kananku.
"Mau kamu apakan kakiku? Lepaskan!" bentakku, sengau.
Perempuan asing itu tidak peduli pada permintaanku.
"Jangan sentuh, itu sakit!"
Telapak kakiku yang ditembus kayu tajam itu mungkin dalam kondisi bengkak sekarang.
"Kamu tuli, ya? Kumohon hentikan!" pintaku lagi.
Dan sepertinya perempuan sinting itu memang tuli. Tubuhku sampai menggigil atas perlakuannya.
"Aaarghh!!" Aku menjerit sejadi-jadinya.
Dia menarik paksa benda tajam itu dari kakiku. Pandanganku seketika gelap.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
PASAR HANTU
HorrorSama sekali tidak menyangka kalau tempat mereka berjualan malam itu adalah sebuah pasar hantu.