#3

393 34 3
                                    

Pagi.

Mulutku bersiul-siul lagu Ambyarnya almarhum Didi Kempot. Rambut yang masih basah kusisir berulang-ulang. Miring ke kanan, miring ke kiri. Senyum-senyum menatap diri di cermin.

Gak salah kalau Bu Kimin sering bilang anaknya mirip Sah Rukh Khan. 

Hahay!

Bakal naik mobil, hari ini musti tampil keren. Celana jeans warna biru pudar juga kaos oblong abu-abu burik sudah melekat di tubuh atletisku. 

"Gak ke pasar hari ini?" Bu Kimin keluar dari dalam membawa sekeranjang cucian. Lalu memindai anaknya dari atas ke bawah. Sadar kalau penampilan kali ini berbeda. Seragam kerja yang biasanya kaos buntung sama celana selutut.

"Gak, Buk. Ada proyek sama temen," sahutku. Bibir bersiul lagi.

"Peyek? Jualan peyek di mana?"

"Di Senayan," jawabku asal. 

Jangan heran! Pendengaran Bu Kimin sekarang sedikit terganggu. Maklum sudah kepala lima. 

Dia mulai menata alas di atas lantai, siap menyetrika. Bu Kimin kerja di loundry punya tetangga. Setrikaan sering dikerjakannya di rumah.

Di rumah kontrakan mungil kami ini, ruang depan jadi ruang serba guna. Bisa buat tempat kerja, bisa buat tempat makan, buat nonton tivi, dan sebagainya dan sebagainya. Termasuk buat dandan seperti yang sedang kulakukan.

Setelah salim sama ibu, aku segera keluar dari rumah. Bapak  masih belum kembali dari Masjid. Aku tak sempat pamit. 

Pak Kimin kerjanya marbot masjid dari jaman orde baru sampai orde milenia. Anaknya cuma satu, badung luar biasa. Namanya Catur Abdul Gani.

****

Kunto memenuhi janjinya, menungguku di tempat kemarin. Di bawah pohon kersen, samping tiang listrik. Tak kusangka masih ada orang yang peduli pada nasib temannya, saat dia sendiri sudah ada di atas. 

Selain Kunto, aku punya dua lagi teman geng SMP. Ruslan dan Japri. Kami empat sekawan yang merasa senasib. Terkucil dari pergaulan karena miskin. SMP Negeri 10 sebenarnya termasuk sekolah favorit. Kami berempat hanya kebetulan saja bisa masuk di sana.

Entah apa yang dialami Japri selama kami putus komunikasi. Lebaran tahun lalu saat aku silaturahmi ke rumahnya. Sebuah kabar mengejutkan kuterima dari Ibunya, kalau Japri masuk rumah sakit jiwa. 

Tidak banyak informasi yang bisa kugali tentang penyebab sakit jiwa Japri. Ibunya terkesan menutup-nutupi. Selentingan kudengar kabar kalau Japri ketergantungan obat.

Nasib Ruslan jauh lebih beruntung. Meski dulu sama miskin, dia punya otak paling encer di antara kami. Saat ini kehidupannya melesat naik bak sebuah roket. Dia lulus dari perguruan tinggi dengan beasiswa. Teman kami itu sekarang sudah jadi pegawai ASN di sebuah kantor pemerintahan. 

Sebenarnya aku dan Ruslan sering bertemu. Kami terhitung masih tetangga. Entah dia memang tidak melihatku, atau dia enggan berteman dengan gembel macam aku. Ruslan terkesan buang muka setiap kami berpapasan. Dan ... aku harus tahu diri.

Siapa aku?

Hanya butiran debu dalam remahan rengginang.

****

Kunto sudah menggeber mobilnya ke arah luar kota. Memasuki jalan tol dengan kecepatan tinggi.

"Kemana kita, To?"

"Cari bahan segar buat jualan," sahutnya.

Aku manggut-manggut, sok mengerti. Mungkin Kunto sengaja mengajakku untuk melihat proses usahanya dari dasar, pikirku.

PASAR HANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang