O1; Korek Api.

684 99 17
                                    






Sepasang kaki dengan balutan celana seragam SMA itu melangkah tenang menuju gerbang sekolah. Satu tangannya di masukkan ke dalam saku celana, menatapi dengan santai siswa lain yang berlarian masuk gerbang karena bel berbunyi kurang dari lima menit lagi.


Kepala bersurai arang itu menggeleng prihatin. Memperhatikan anak-anak satu sekolahnya yang berangkat terlambat sampai berlarian terburu saat gerbang sekolah hampir di tutup.


"Heran ya anak jaman sekarang. Sukanya berangkat sekolah kalo jam udah mepet. Giliran gerbang mau di tutup, lari-larian deh tuh kayak sperma lagi balapan pembuahan."


Arsean Jeongguk dan mulutnya yang selalu ngawur kalau sudah bersabda. Sampai-sampai Bunda nya bahkan bingung kenapa hasil pembuahan suaminya dulu malah keluar bentukannya seperti Sean.


Masih menjadi misteri sampai belasan tahun Sean hidup.


Tubuh besar Sean sedikit terdorong dari belakang saat seseorang dengan tiba-tiba menabraknya. Hampir terjungkal meskipun pada akhirnya tetap bisa mempertahankan keseimbangan, tapi anak yang tidak sengaja menabraknya malah tersandung hingga terjatuh.


Sean hela nafas panjang sambil pasang wajah—yang lagi-lagi—terlihat prihatin. Memperhatikan pemuda kurus itu menopang tubuhnya sendiri dengan kedua lengan yang kecil. Sean sampai meringis saking kurusnya kedua lengan itu. Mungkin korban kekurangan gizi, batinnya ngawur.


"Haduh, mangkannya kalo jalan hati-hati. Bukan pakek kaki doang, matanya juga di pakek." Bibir tipis itu mencemooh tajam dengan tubuh yang masih tak bergeming. Tidak juga membantu pemuda itu berdiri. Lagi pula—kata Sean—dia tidak terlihat seperti butuh bantuan meskipun sempat mendesis dan memeriksa lututnya.


Tubuh pemuda dengan rambut coklat terang itu berdiri, sedikit membungkuk dan berujar maaf dengan kepala menunduk dan suara luar biasa lirih. Hampir tidak terdengar oleh kedua telinga Sean.


Mulut Sean baru saja terbuka hendak melemparkan kalimat ngawur lagi, tapi tidak sempat karena bel berbunyi dan anak itu sudah bergabung dengan belasan anak lain yang menghilang di balik gerbang yang sudah tertutup.


Tangannya menggaruk kepala belakang yang tidak gatal. Memilih mengedikkan bahunya dan kembali melangkah sebelum kaki Sean tanpa sengaja menendang sebuah benda kecil yang terbuat dari metal. Alis pemuda itu berkerut samar, memungut benda persegi dengan sebuah ukiran khas di permukaannya.


Kedua matanya melebar. Mendongak kearah punggung pemuda dengan rambut coklat terang tadi menghilang.


"Lah, ini korek kenapa bisa di sini? Di jatuhin ama dia?" Alis tebal sehitam arang itu berkerut heran. Melihat lagi pada ukiran inisial "AJ" yang sangat Sean ingat, dia sendiri yang menggambarnya. Ini koreknya yang dia cari sejak beberapa bulan lalu.


"Perasaan ini ilang di rumah si bantet. Kok si itu tadi bisa bawa korek gue?" Kepala belakangnya yang tidak gatal ia garuk lagi. Berakhir mengedikkan bahunya acuh karena malas berfikir. Yang terpenting korek api kesayangannya sekarang sudah ketemu. Pikiran tentang, siapa pemuda tadi, bisa dia pikirkan belakangan.

NYEBAT (glow-up ver); KOOKVWhere stories live. Discover now