p r o l o g u e

23 5 7
                                    

"Hentikan!"

Dentuman keras menggema memasuki gendang telinga. Penuh teriakan kesakitan dan jeritan beberapa orang walau sesungguhnya tak ada oranglain di sana. Hanya ruangan luas berdinding abu-abu tanpa pencahayaan cukup.

Tubuhnya terangkat. Tangannya seperti ditahan oleh sesuatu tak kasat mata. Sedangkan dari lantai mendadak muncul sulur merambat yang lalu melilit pergelangan kaki-membuatnya meringis saat duri beracun menembus kulit daging kakinya.

Seseorang berdiri dalam cahaya ruangan minim, di antara walk in closet dan kaca besar. Jemarinya berayun senang meski tatapannya datar. Tubuhnya agak transparan, tetapi masih bisa ditangkap jika sosok itu seorang pria berwajah pucat yang sepadan dengan bola mata tanpa warna.

Oknum di hadapannya menahan napas. Tubuhnya dijatuhkan paksa. Kedua tangannya meliuk sementara kepalanya berputar hampir 180°. Jelas terdengar ada suara retakan. Tapi hal itu justru membuat dirinya menyeringai bangga sekaligus sedih di saat bersamaan.

"Ku-mo-hon, he-n-ti-kan-!" Lirihnya.

Tubuhnya ambruk tak berdaya. Tulangnya seperti mati rasa.

Sosok misterius tadi mendekat. Tak terdengar langkah kaki apapun meski ruangan sangat luas. Harusnya, sepatu berat itu menimbulkan gema-jika oknum tersebut benar benar menapak tanah-tapi kenyataannya tidak. Tubuhnya memang transparan.

"Kebahagiaan yang kau rasakan adalah apa yang telah dipotong dari hatiku."

Dia mendekat.

Makin mendekat.

Dan kini, wajahnya terlihat lebih jelas.

"Aku akan mengikuti kemanapun kau pergi, meski aku telah melihat hasilnya."

Ia mengangkat telunjuk kirinya yang dilumuri darah dan berkuku panjang. Sangat tidak mencerminkan fisik laki-laki pada umumnya. Bibirnya menyeringai ketika jemarinya bergerak tepat di depan mata sang lawan bicara. Seolah siap mencongkel bola mata itu, tanpa aba-aba, kukunya menembus sedikit dari kelopak mata pria tadi.

"TIDAK!"

-Brak

Pintu dibuka paksa.

Seorang laki-laki muda berlari tergopoh-gopoh tanpa mengatur napas. "Ayah, ada apa?" Ujarnya meminta jawaban. Wajahnya panik mendapati kaki sang Ayah yang mengeluarkan darah segar sampai membuat sprei berubah warna.

Entah kapan pria itu berpindah posisi. Bukankah sebelumnya dia ada di lantai dengan sulur beracun dan pria misterius yang ingin mencelakainya? Lalu bagaimana dia sudah ada di atas kasur, seolah tadi itu hanya mimpi? Dan. . .oh tunggu! Kenapa ia baru sadar kalau tubuhnya penuh luka?

"Di-a da-tang la-gi."

Ia bahkan tak kuasa mengatur napasnya. Anaknya semakin panik, dengan segera ia merangkul lengan sang ayah dan membawanya keluar.

"Kita ke dokter sekarang!"

****

[00.12 a.m]

"Tubuhnya mengeluarkan cairan merah pekat. Sangat kontras dengan pakaian cerahnya. Di samping itu, seluruh tulangnya tak lagi berfungsi. Hingga setiap kali ia menutup mata, bayangan mengerikan seseorang akan selalu membantainya."

Ia terkikik, menciptakan gema di sekeliling ruangan. Pencahayaan minim lantaran hanya satu lentera kecil di meja menambah kesan mistis suasana. Kesunyian antara dentang jarum jam dan rintik hujan bahkan sampai terdengar jelas.

Gadis berambut sebahu bersandar sembari menyesap kopi hitam bercampur aroma vanilla sambil menikmati mahakaryanya. Jemari lentiknya bergerak lincah di atas mesin ketik. Menyusun kalimat demi kalimat sesuai isi pikirannya, seolah seseorang sudah mendikte-menjadikannya pena.

-Ceklek

Wanita lain mendekat. Kesunyian membuat langkah kakinya menimbulkan suara menggema. "Kau sepertinya sangat bahagia ya?" Celetusnya membaca tulisan yang baru saja diketik.

Yang diajak bicara pun mendongak. "Tentu saja, Ma. Aku membuat sensasi baru dalam tulisanku."

Fokus membaca, kedua alis wanita-yang dipanggil Mama-itu hampir bertautan. Dahinya mengerut walau ekspresinya berganti sumringah. "Zura, ini luar biasa." Pekiknya kegirangan, "bagaimana mungkin pembawaan tulisanmu sangat nyata? Mama yakin, di saat yang sama, dia pasti menderita."

Azura terkikik. "Aku memang sengaja melakukannya." Ia menyesap kembali kopi yang hampir dingin, "lagipula, bukankah ampunan pun sudah sangat terlambat?" Matanya menerawang. Lekukan simpul tercetak di wajah manisnya.

Mama mengulas senyum. Wajahnya nampak bahagia. Ia memeluk putrinya penuh sayang sembari menelisik kembali tulisan tadi. "Kau benar, putriku. Dan Mama rasa, ada rencana baru yang kiranya bagus untuk misi kita."

"Kali ini, Mama sangat membutuhkanmu, Azura."

To Be Continue

A B l o o d y L o v e S t o r y

Written by,
d l v m a y s

A Bloody Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang