t a r g e t

10 1 0
                                    

[00.48 a.m]

Wanita berambut ikal berkuncir kuda meletakkan gelas minumnya pelan. Suara senyap dalam ruangan membuat keadaan di antara keduanya semakin kikuk.

Ia lalu menghela napas sampai menciptakan asap mengudara. "Zura, kau harus tetap waspada. Meski kelihatannya akan sangat mudah menyingkirkannya, tetapi. . ."

"Sudahlah Ren, aku telah memikirkannya berkali-kali. Ini takkan sulit bagiku. Jangan terlalu khawatir."

Zura kembali menyeruput minuman hangatnya. Matanya mendongak ke atas seolah memikirkan sesuatu. Sedangkan yang dipanggil Ren tadi semakin mengerutkan kening dalam. Kalau ditanya apakah ia khawatir dengan Azura, maka jawabannya adalah iya.

"Bagaimana aku tidak khawatir? Kau itu ceroboh. Tidak memikirkan resiko setelahnya, keras kepala dan. . . sangat pemaksa."

Bagi Mauren, Azura sudah seperti adik kecilnya. Keras kepala tetapi gigih. Ceroboh tetapi berani. Juga pemaksa tetapi percaya diri. Keduanya dekat sejak Azura berusia 7 tahun. Insiden di mana keluarga Azura menjadi satu-satunya penyelamat Mauren ketika keluarganya dibantai habis-habisan oknum tak bertanggung jawab yang membuat hidupnya sengsara.

Tapi kini, kehidupannya bergantung pada keluarga Azura kedepannya. Mauren bertekad akan membalaskan dendam kedua orangtuanya, juga mengabdi pada Irene sebagai balas budi.

****

[01.14 a.m]

"Bagaimana?" Tanya seseorang di samping pintu. Ia meletakkan blazer secara asal lalu mendekati ranjang di mana ayahnya terbaring di sana.

"Lukanya cukup serius. Meski tak terlihat ada bercak di sana, tetapi sangat berakibat buruk pada tulang belakang. Sementara ini, saya sarankan agar tuan memakai kursi roda."

Dokter menjelaskan resep obat kepada pria lain di sana. Ia berulang kali melirik ke ranjang sampai menyadari orang itu terbangun. "Zen, Ayah ingin bicara denganmu." Tuturnya bersuara parau.

"Tidak, Ayah. Kondisimu belum pulih, jangan pikirkan yang lain dulu."

"Tapi ini menyangkut hidup dan matimu."

Sunyi.

Pria lain di sana berdeham mencairkan suasana. Ia mengajak sang dokter mengobrol sembari menggiringnya keluar ruangan demi memberi sepasang ayah dan anak itu bicara.

Memilih menurut, Zen duduk di pinggiran ranjang. Kepalanya sedikit menunduk mensejajarkan tinggi Ayahnya. "Zen, apa kau akan mendengarkan ceritaku?"

"Berjanjilah kau tidak akan memotongnya sebelum aku selesai."

Zen mengangguk. Di tengah keheningan ayahnya bercerita. Berbagai ekspresi aneh lepas begitu saja. Ayahnya sempat mengabaikan tulang belakangnya dan memaksa bangkit meski dilarang. Ia lalu menyibak bagian belakang kemejanya hingga memperlihatkan punggung bersih tanpa luka-membuat dahi Zen berkerut.

Zen tak berniat memotong pembicaraan. Ia justru sibuk mencari celah kebohongan di kedua mata ayahnya meski ia sendiri tak menemukan. Jemarinya tanpa sadar bergerak menyentuh lengan sang ayah meski detik setelahnya kepalanya mendadak sakit.

"Kebahagiaan yang kau rasakan adalah apa yang telah dipotong dari hatiku."

"Aku akan mengikuti kemanapun kau pergi, meski aku telah melihat hasilnya."

Zen berjingkat. Keringat dingin tiba-tiba mengucur tubuhnya. Wajahnya mendadak pucat. Tangannya meremas sprei kasur sampai berantakan.

"Jadi, maukah kau membantu ayahmu ini?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Bloody Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang