Terhitung sudah hampir 5 tahun aku dan dia memutuskan untuk jalan masing-masing. Memilih menyudahi hubungan yang kami bangun selama 3 tahun lebih itu. Alasannya? Banyak. Sudah bukan 'bosen', 'udah enggak sepaham' atau alasan-alasan klise lainnya.
Kami punya banyak pertimbangan untuk menyudahi hubungan itu, berbagai permasalahan baik dari luar maupun dari diri kami sendiri menjadi pemicunya. Kalau ditanya apa enggak sayang? Sayanglah, udah 3 tahun lebih susah senang bareng, melewati struggle masa SMA bareng, bahkan saking udah lamanya aku sudah begitu dekat dengan keluarga dia. Dia pun juga sudah dekat dengan keluargaku.
***
Disaat kami memutuskan untuk menyudahi semuanya, jujur saja perasaan sayang itu masih ada, dibanding utuh aku lebih setuju lagi kalau menyebutnya banyak, ya saking masih begitu berpengaruhnya perasaan itu dalam kehidupanku. Enggak tau kalau dia.
Tapi setelah hari itu, keadaan kami masih seperti hari-hari sebelumnya (sebelum kami putus). Dia masih memanggilku dengan panggilan sayangnya begitupun aku yang masih nyaman memanggilnya Patrick (panggilan sayangku untuk dia).
Apa aku menangis hari itu? Ya, aku menangis diam-diam. Hari dimana kami berpisah itu bertepatan hari minggu. Hari yang biasanya aku dan keluargaku pakai untuk quality time di rumah.
Saat itu aku sedang menonton salah satu tayangan kartun bersama adik-adikku, tepat pada adegan dimana spongebob tengah berlarian menangkap sekawanan ubur-ubur pesan masuk darinya kuterima.
Kita jalan masing-masing aja ya ,ay?
Jujur saja aku enggak kaget saat membaca pesan itu, kami memang beberapa kali pernah putus lalu kembali memutuskan bersama lagi. Sedih juga enggak, sebab dibanding sedih aku lebih merasa lelah membacanya. Bukan karena seberapa sering, tapi karena sesuatu yang terjadi dalam hubungan kami.
Aku tidak ingat apa tepatnya kalimat yang aku kirimkan sebagai balasan, yang jelas aku menyetujui ajakannya untuk berpisah. Aku sudah tidak memiliki alasan untuk bertahan, sekalipun aku masih sangat menyayanginya saat itu. Aku juga tidak ingin marah-marah, karena aku tau apapun yang aku katakan jika dengannya tidak akan menemukan kata selesai ataupun penyelesaian.
Meskipun kita putus, kita masih bisa kayak biasanya kok, ay. Kita masih baik-baik aja.
Dan ya, kami masih baik-baik aja setelahnya. Dalam artian komunikasi kami masih berjalan seperti biasanya.
Dia masih mengirimiku pesan untuk bertanya mengenai keseharianku, apa kegiatan yang kulakukan dan sesekali dia juga menanyakan kelanjutan rencana studyku karena saat itu kami berada di akhir masa SMA.
Bahkan ketika ingin bepergian pun dia masih meminta izin dariku, selayaknya ketika kami masih berpacaran.
Kami benar-benar masih seperti orang berpacaran kala itu, sampai teman-teman kami tidak ada satupun yang percaya kalau kami ternyata sudah putus.
***
Hingga pertengahan tahun, aku berangkat ke Bali untuk melanjutkan pendidikan disana. Hubungan kami masih lumayan baik. Aku masih sempat berpamitan dan bertemu dengannya, dan dia pun orang kedua yang tau perubahan rencana study-ku setelah sahabatku.
Benar, rencana study yang sebelumnya sudah rapih ku susun dan kutentukan terpaksa berubah karena berbagai alasan. Salah satunya karena berakhirnya hubungan kami.
Dulu, saat kami baru menginjak kelas dua belas, kami bersama keenam teman kami pernah mengobrol di sela-sela menghabiskan waktu istirahat. Isinya begini,
KAMU SEDANG MEMBACA
Riuh yang Menggantung
FanfictionSudah biasa saja melihat ia dengan siapa pun. Amarah, kecewa, harapan, dan segala perasaan yang dulu pernah di agung-agungkan sudah lenyap. Sudah benar-benar BIASA SAJA. Namun, di saat merasa sudah baik-baik saja itu, dia seringkali datang dalam mi...