PROLOG

1.6K 52 1
                                    

"Kenapa semua orang mengecewakan?" ucapnya lirih.

Napasnya memburu.

"Ambil napas dulu." Aku mencoba menenangkan.

"Kamu nggak ngerti."

Aku diam, menunggu emosinya mereda. Wajah sendu

di balik rambut ikal mengembang itu tak kuasa menahan

sedihnya. Aku yang sejak tadi menunggu hanya bisa

menatapnya diam. Dia kini duduk gelisah di sampingku—di

teras rumah berdinding putih susu itu. Rumah yang terlihat

mewah meski sepi sekali suasananya.

"Aku sudah berusaha menjadi yang terbaik. Aku sudah

melakukan semuanya. Aku merasa tidak pernah dihargai."

'Aku masih diam, emosinya tidak juga reda.

"Kamu nggak akan kuat kalau ada di posisiku."

Aku tidak membantah. Aku tahu ini sangat berat.

Lalu, kami sama-sama diam. Perempuan di sampingku

ini mencoba menenangkan emosinya. Pintu rumah sudah

ditutup rapat. Ia menatapku dengan raut wajah meminta

maaf. Aku menatapnya dengan wajah yang kuusahakan

setenang mungkin.

"Semua akan baik-baik saja," bisikku.

"Nggak semudah itu. Apa aku menyerah saja?"

"Tapi—"

"Aku udah capek berhadapan dengan orang keras

kepala dan egois."

Aku diam lagi, tiap kali aku mencoba menenangkan,

emosinya kembali meluap. Meledak. Dia sedang tidak stabil.

Tidak bisa ditenangkan dengan kata-kata apa pun, aku

memang harus diam menuruti ke mana arah hatinya.

"Aku udah capek dengan semua hal yang menghancur-

kan hidupku. Aku kesal, tapi kenapa aku masih bertahan?

Aku ingin marah, tapi kenapa aku tidak bisa? Aku ingin

pergi, tapi semua ini menyakitkan."

Aku hanya menatapnya dengan diam yang dalam.

Menerka kalimat apa lagi yang akan keluar dari bibirnya.

Dia benar-benar sedang kalut dan perempuan yang

sedang kalut kadang berubah menjadi begitu liar. Ia bisa

menerkamku saat ini juga jika ia mau.

KISAH YANG PILU UNTUK KITA YANG RAGU (Teaser)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang