"Kenapa semua orang mengecewakan?" ucapnya lirih.
Napasnya memburu.
"Ambil napas dulu." Aku mencoba menenangkan.
"Kamu nggak ngerti."
Aku diam, menunggu emosinya mereda. Wajah sendu
di balik rambut ikal mengembang itu tak kuasa menahan
sedihnya. Aku yang sejak tadi menunggu hanya bisa
menatapnya diam. Dia kini duduk gelisah di sampingku—di
teras rumah berdinding putih susu itu. Rumah yang terlihat
mewah meski sepi sekali suasananya.
"Aku sudah berusaha menjadi yang terbaik. Aku sudah
melakukan semuanya. Aku merasa tidak pernah dihargai."
'Aku masih diam, emosinya tidak juga reda.
"Kamu nggak akan kuat kalau ada di posisiku."
Aku tidak membantah. Aku tahu ini sangat berat.
Lalu, kami sama-sama diam. Perempuan di sampingku
ini mencoba menenangkan emosinya. Pintu rumah sudah
ditutup rapat. Ia menatapku dengan raut wajah meminta
maaf. Aku menatapnya dengan wajah yang kuusahakan
setenang mungkin.
"Semua akan baik-baik saja," bisikku.
"Nggak semudah itu. Apa aku menyerah saja?"
"Tapi—"
"Aku udah capek berhadapan dengan orang keras
kepala dan egois."
Aku diam lagi, tiap kali aku mencoba menenangkan,
emosinya kembali meluap. Meledak. Dia sedang tidak stabil.
Tidak bisa ditenangkan dengan kata-kata apa pun, aku
memang harus diam menuruti ke mana arah hatinya.
"Aku udah capek dengan semua hal yang menghancur-
kan hidupku. Aku kesal, tapi kenapa aku masih bertahan?
Aku ingin marah, tapi kenapa aku tidak bisa? Aku ingin
pergi, tapi semua ini menyakitkan."
Aku hanya menatapnya dengan diam yang dalam.
Menerka kalimat apa lagi yang akan keluar dari bibirnya.
Dia benar-benar sedang kalut dan perempuan yang
sedang kalut kadang berubah menjadi begitu liar. Ia bisa
menerkamku saat ini juga jika ia mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH YANG PILU UNTUK KITA YANG RAGU (Teaser)
RomanceSetelah belajar mengikhlaskanmu, mengapa jalan hidup mempertemukan kita lagi? Hati remuk yang pelan-pelan kurakit kembali, kini gamang saat ada kamu lagi. Pernah aku mencoba menghapusmu dalam ingatan, tapi pilu mendalam yang kurasakan. Kau bilang ta...