1. Mi, Tiar iri!

11 4 1
                                    

Dari kecil Tiar bisa dikatakan sangat iri dengan maminya. Yang sekarang menginjak umur tiga puluh enam tapi masih terlihat remaja seumurannya. Bisa ditebak jika ia berjalan beriringan maka orang lain tak akan segan untuk berpikir mereka orang yang seumuran. Tiar benci itu, sangat.

Jika umur maminya tiga puluh enam berarti bisa ditebak orang tuanya menikah diumur masih belasan. Karena kakaknya juga baru berumur delapan belas tahun. Apa maminya ini hamidun diluar menikah? Jika iya apa ini sebab maminya tidak berpikir seperti ibu pada ibu lainnya. Apakah kakek neneknya pihak ibunya tidak marah?

Orang tua pada umunya pasti marah, kakek neneknya juga mungkin marah hingga saat ini-mungkin. Tiar juga tak pernah melihat Nenek dan maminya berbincang layaknya ibu dan anak. Jika Tiar sekeluarga berkunjung ke rumah Nenek, maminya hanya akan didalam kamar atau menyendiri di belakang rumah neneknya yang luas. Tiar tak mengerti kenapa orang dewasa sangat rumit.

Tapi maminya ini luar bisa. Maminya bekerja tapi uniknya selalu ada waktu untuk mengurus semua masalah yang ia ciptakan. Mau ke ruang BK ratusan kalipun maminya datang dengan senyuman yang mengembang tak lupa ditangan kanan dan kiri selalu selalu membawa aneka makanan kecil dan nasi kotak aneka lauk. Itu semua akan dibagikan keteman sekelasnya dan guru BK yang sangat perhatian. Apa maminya ini ibu kandung?

Seperti hari ini dua puluh menit yang lalu guru BK menelpon ibunya untuk datang kesekolah. Maminya datang dua puluh menit kemudian dengan kaos hitam dilapisi blazer hitam, kakinya dibungkus celana kain warna hitam, tak lupa sneakers putih, rambut ibunya juga dibiarkan tergerai. Tuhan kenapa maminya malah terlihat semakin muda?. Seperti yang sudah-sudah maminya akan membawa banyak kantong. Satu kantong untuk kantor BK dan dua kantong akan dibagikan ke teman sekelas dan satu untuk kelas kakaknya.

"Ibu Marissa tidak perlu repot-repot," perkataan gurunya malah membuat Tiar memutarkan matanya. Harusnya cukup ucapkan terimakasih. Maminya juga ngapain harus memberikan kantong makan itu. Tiar juga tak akan keluar dari masalah hanya dengan makan-makanan itu.

"Tidak apa-apa, Ibu Mega. Terimakasih sudah memperhatikan kedua anak saya." Marissa mengusap kepala Tiar.

"Baik bu. Seperti yang tadi saya jelaskan ditelepon. Anak Ibu memukul salah seorang kakak kelas yang tak lain adalah kapten tim basket," Ibu Mega berucap berhati-hati.

"Tiar, anak baik. Anak saya, Bu?" Ibu Mega menganggguk, "Mbak sekarang udah besar. Mukul anak orang. Besok mau masuk kelas kick boxing? Teman Mami ada yang jadi pelatih lho," semua di ruangan itu tercengang termasuk Tiar walau sudah ditebak tapi tetap saja Tiar tecengang bukankah seharusnya maminya marah. Mami, ini anaknya mukul orang lho. Syukur sih bukan membunuh tapi bukankah orang tua lainnya akan memarahi anaknya.

"Anak saya akan dikeluarkan?" Tiar pikir sekarang maminya mulai ngelantur.

Ibu Mega tersadar dari keterkejutannya, "Tiar akan dihukum sesuai peraturan sekolah, Bu. Akan diskors Selama tiga hari tetapi Tiar juga harus tetap mengerjakan tugas. Dan juga harus mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut."

Tiar hendak protes tapi diurungkan.

"Kenapa tidak dikeluarkan saja, Bu??" sudah cukup. Tiar kira akan ada dibela mami luar biasanya ini. Ternyata semakin dijatuhkan. Walau maminya mengucapkan dengan tampang sok polos tapi Tiar ini juga bisa ngambek lho.

"Kalau begitu satu minggu saja bu," Ibu Mega yang kali ini tak mengerti. Bukankah seharusnya ada drama dimana maminya Tiar meminta agar anaknya tidak diskors? "tenang bu, saya pastikan anak saya juga akan bertanggung jawab juga dengan orang tua anak itu langsung." Selanjutnya Tiar tak mendengar maminya. Karena yang ia lihat maminya berbisik kemudian gurunya mengangguk ragu. Sudah dipastikan seminggu kedepan ia akan menjalankan hukuman gila dari Marissa.

"Tiar boleh Mami tanya alasannya apa?" kini semua beralih dengan Tiar. Tiar antara malu mengucapkan atau bagaimana. Ini hal yang memalukan. Hal yang ia benci.

"Dia bilang mau ketemu Mami. Katanya mau jadiin Tiar anak tirinya, Mi. Dia mau nikahin Mami. Dia ngucapinnya pakai nada kurang ajar. Bukannya itu melecehkan Mami?" Tiar bisa merasakan matanya memanas. Secara tak langsung Tiar membela maminya karena orang itu mengucapkannya juga dengan nada kurang ajar.

Tiar tahu gurunya akan tercengang karena fakta ini baru ia ungkap setelah satu jam bungkam. Sekarang Tiar bisa merasakan pelukan hangat dari maminya. Tiar tak senang, bukankah seharusnya seorang laki-laki harus menjaga martabat perempuan.

****

Di ruang UKS Marissa dan Tiar bisa melihat laki-laki berkulit keclokatan duduk sedang berbincang dengan Takdir, dengan balita dipengkuan Takdir.

"Mas Takdir kok disini?" semua orang disana menoleh.

"Ini, negokin orang yang kamu pukul. Mas kira dia harus dijahit," jawab Takdir malas. "Mi, aku ajak Prince ke kelasku."

Setelah Takdir keluar dengan Prince. Marissa mendekati ranjang UKS menatap wajah remaja didepannya bisa dilihat ada bekas darah di sudut bibir dan ada juga perban dipelipis kanan. Selain itu pipi dan rahang kanan berwarna kebiruan. Marissa melirik putrinya tak ada luka apapun hanya pergelangan tangannya yang memerah.

"Tiar tadi kamu ngajaik temenmu buat ngeroyok dia?" tuduhan Marissa mendapat gelengan Tiar, "bagus."

Sekarang atensi Marissa beralih ke anak babak belur didepannya ini.

"Kamu nggak pukul anak tante?" Marissa bertanya pelan.

Ada apa pula maminya ini. Tiar tak akan mengaku kalau disini ia yang bersalah sudah jelas perkataan orang itu melecehkan ibunya.

"Nama kamu siapa?"

"Calcium tante, maaf Tante saya-"

"Oh, namanya Cal. Nanti kamu pulangnya bareng sama Tante sama Tiar ya. Mampir ke rumah Tante sebentar. Atas nama Tante sendiri saya minta maaf ya, belum bisa mengajarkan mukul yang benar."

Calcium menggaruk dahinya yang tak diperban. Maksudnya 'belum mengajarkan mukul yang benar'.

"Tante, maaf saya kira tante ini kakaknya Ti-"

"Bohong, Mi dia juga bilang kalau katanya Mami juga seksi. Dia juga bilang kalau Mami itu janda kaya raya. Katanya Mami bisa ngimbangin dia!" Tiar harus ngegas kali ini. Biar ditabok itu mulut.

Tunggu ucapan Tiara ada yang ambigu.

"Cal, Tante maunya minta kamu nampar anak Tante. Tapi Tante nggak tega, tangan kamu sakit pasti nggak punya tenaga. Cubit anak Tante aja yha!" perintah Marissa segera dilaksanakan dengan baik bahkan Tiar menjerit kesakitan, berakhir matanya berkaca-kaca. Maminya juga hanya menutup mata rapat tanpa mencegah tindak kekerasan ini. Dasar Mak lampir jahat! Marissa, Mak lampir jahat yang sayangnnya menjelma menjadi ibu kandungnya.

"Tiar ambil tas kamu sekarang, tas Cal. Dan ini," mama menyerahkan dua kantong "satu untuk teman sekelasmu satu untuk kelas Cal."

****

Didalam mobil mamanya, Tiar melihat kakaknya tersenyum menyerahkan Prince. Memeluk dan berbincang sebentar dengan maminya lalu pergi dengan satu kantong makanan. Maminya juga sempat berbicara berbicara dengan teman sekolahnya dan ada yang meminta foto. Ya Tuhan Tiar tak tahu maminya seterkenal itu. Apa ini semua karena maminya terlalu sering ke sekolah? Itu tak mungkin ia bukan murid tauladan.

"Itu yang digendong Mamimu... adekmu?"

Rupanya Calcium kakak kelasnya itu juga memperhatikan maminya. Tak perlu dijawab pasti tadi Calcium juga sudah bertanya dengan Takdir.

"Rahasia Tante Marissa itu apa sih. Udah punya anak lima tapi masih badan sama muka masih patut jadi anak ABG," monolog Calcium.

"Sorry gue beneran nggak tahu kalau itu Tante Marissa itu ibu lo bukan kakak lo. Waktu itu yang gue liat lo, Takdir, dan Tante Marissa seperti saudara," Tiar menggeram marah. Apa mata orang ini tak juga digunakan saat pembagian laporan hasil ujian.

"Apa lo itu nggak pernah mikir. Jelas-jelas setiap pertemuan wali murid di dekolah kita itu nggak pernah boleh diwakilin," maki Tiar. Ini maminya kenapa malah lama sekali.

"Tiar," Calcium memanggil ragu "jadi gue bisa nikahin mami lo?






7102021

MamamoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang