Sihir

3 4 1
                                    

Kekuatan mereka bisa di ketahui dari gambar di telapak tangan mereka. Seperti di tangan mereka tadi.

“Aku tidak mau mati seperti ini,” ujar Alex dengan sedikit lebay.

“Kamu mau menuruni anak tangga itu?” tanya Alvin sambil menunjuk ratusan anak tangga.

Sementara Bella di bawah tengah melambaikan tangannya agar ke dua laki-laki itu segera turun.

“Ayok!” pinta Alvil yang sudah berada di ujung pagat kecil pembatas tangga. Dia tahu betul kalau sahabatnya itu takut dengan ketinggian. “Ayok!” pintanya lagi, namun kali ini sambil menarik baju Alex agar mereka terjun bersamaa.

“Aaaaaa! Apa yang kau lakukan Vin!” teriak Alex begitu keras hingga orang-orang yang berada di tempat itu melihat ke arah mereka dengan tatapan aneh.

“Aaaaa! Kamu diam saja!” teriak Alvin juga.

Dan di luar dugaan, seperti ada yang menahan mereka. Saat mendekati lantai, kecepatan mereka tiba-tiba menurun, yang membuat mereka jatuh dengan mulus.

Tempat tersebut memang sudah di beri sihir oleh pemiliknya agar apabila ada orang yang terjatuh, maka sihir yang tidak bisa di lihat oleh semua orang itu langsung menyelamatkan mereka. Membuat mereka melambat sebelum menyentuh lantai.

“Aku masih hidup! Aku masih hidup!” teriak Alex dengan begitu keras hingga membuat Alvin spontan menutup mukutnya agar orang-orang tidak memperhatikan mereka.

“Jangan bikin malu!” ujar Alvin penuh penekanan dan melepaskan tangannya dari mulut Alex.

“Ayok! Sebaiknya kita ke luar dari sini!” pinta Bella sambil berjalan ke luar. Dan ternyata bukan hanya mereka yang mempunyai pakaian aneh, melainkan hampir semua pengunjung.

Ke dua laki-laki itu pun mengikuti ke mana Bella pergi. Untung ada dia di dekat mereka yang bisa menjadi petunjuk dan juga penyelesaian masalah mereka.

Saat berada di luar, mereka di buat terkejut dengan apa yang di lakukan para warga di tempat itu. Anak-anak dengan riangnya bermain. Namun cara bermain mereka begitu aneh tapi luar biasa. Mereka berlarian di udara tanpa alat apapun.

Dan juga ada beberapa dari mereka yang bermain dengan mengubah temannya menjadi orang lain menggunakan sihir yang dia punya.

“Waaoow! Ini sungguh luar biasa!” puji Alex.

Alvin mulai berpikir. Apa jangan-jangan mereka tengah berada di dunia sihir seperti apa yang sering dia baca. Tapi mengapa mereka bisa ada di sini. Pikiran Alvin mulai kacau.

“Aku yakin kita sedang berada di dunia yang berbeda dan ini bukanlah dunia kita. Atau mungkin kita kembali ke masa lalu. Tapi ini sungguh tidak mungkin,” kata Bella bingung dengan ucapannya sendiri.

Lingkungan dan gedung serta jalan yang ada di tempat itu sama dengan apa yang ada di kota tempat mereka berada atau kota-kota lainnya. Hanya saja masyarakat yang begitu aneh.

Mereka memakai pakaian yang hampiri semuanya sama. Dan ada juga sebagian dari mereka yang memakai pakaian sama seperti penyihir.

Satu hal yang tidak ada di tempat itu yang baru mereka sadari, yaitu tidak ada kendaraan. Orang-orang berlalu lalang dengan sapu terbang. Namun banyak dari mereka yang memilih untuk berjalan kaki.

Udara di luar begitu dingin. Badan Alex dan Bella seperti menggigil. Namun berbeda dengan Alvin yang terlihat biasa saja.

“Aku rasa kita harus membeli baju tebal. Di sini begitu dingin,” kata Bella.

“Kamu benar!” lanjut Alex.

“Kenapa aku tidak merasakan dingin sama sekali,” kata Alvin dengan santai.

“Apa! Udara sedinging ini kamu tidak bisa merasakannya?” tanya Alex seakan tak percaya.

“Itu karena dia mempunyai kekuatan api yang jarang orang lain miliki,” jawab seseorang di samping kiri mereka.

Dan itu ternyata adalah seorang kakek tua yang sedang duduk bersandar di sebuah kursi. Namun mereka tidak melihatnya. “Aku pertama kali melihat kalian? Kalian pendatang baru?” lanjutnya sembari berdiri dan melangkah ke arah ke tiganya.

Ketiga remaja itu hanya diam dan tidak berkutik sembari memerhatikan wajah laki-laki paruh baya itu yang jenggotnya seakan sudah membeku akibat dingin.

Dia lalu mengambil tangan ketiganya dan memeriksa telapak tangan mereka masing-masing.

Dia terdiam dan tersenyum saat melihat telapak tangan Alvin. “Sudah kuduga!” katanya sambil tersenyum miring.

“Maaf, anda siapa?” tanya Alex seraya menepis tangan laki-laki paruh baya itu agar melepaskan tangan Alvin. “Jangan ganggu kami!” lanjut Alex memberi tatapan tajam.

Sedangkan Alvin hanya diam dan memperhatikan laki-laki paruh baya itu. “Apa yang bapak duga?” tanya Alvin mulai bersuara namun matanya tidak terputus melihat laki-laki paruh baya itu.

“Ikut aku!” pinta laki-laki paruh baya itu yang membuat Alex dan Bella mengerutkan kening mereke bingung.

Sementara Alvin yang begitu penasaran tentang laki-laki paruh baya itu tanpa pikir panjang langsung mengikutinya. Karena da begitu penasaran dengan senyuman aneh yang di berikannya saat dia melihat telapak tangan Alvin.

“Hey! Vin! Dasae tuh anak!” gerutu Alex dan segera menyusul sahabatnya itu, lalu di ikuti oleh Bella.

Mereka menyusuri jalan kota itu mengikuti seseorang yang sama sekali tidak mereka kenali.

Laki-laki paru baya itu membawa mereka ke sebuah lorong sempit dan di sepanjang perjalanan orang-orang menatap mereka dengan tatapan yang begitu menakutkan. Pakaian mereka seperti gembel. Amburadul tak terurus.

“Vin!” panggil Alex dengan suara kecil.

“Apa!” jawab Alvin sedikit malas karena masih fokus melihat keadaan sekitar yang semakin aneh.

“Kita balik aja yuk! Tempat ini seram bangat. Kamu bisa yakin kalau orang itu tidak ngapa-ngapain kita,” kata Alex berusaha meyakinkan.

Bukannya menjawab, Alvin hanya menyuruh Alex untuk diam dan mengikuti laki-laki paruh baya itu.

Last DescendantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang