Prologue

43 4 0
                                    

"Rudy! Jangan bermalas-malasan, cepat kerjakan skripsimu sana!"

Ibuku berteriak dari dapur. Padahal tidak perlu berteriak pun aku dapat mendengarnya, tapi sepertinya ibuku suka melakukannya.

Tidak, mungkin bukan seperti itu.

Itu karena dia melihatku bermain game, sedang sidang skripsiku sudah tertunda 1 semester.

Yah, mau gimana lagi? Sejak pandemi covid-19 melanda, konsultasi skripsi jadi semakin susah. Menghubungi dosen melalui wa, kemudian mengirimkan hasil kerjaan kita melalui email, itu bukan hal yang mudah. Apalagi kalau dosen pembimbingmu adalah orang yang sudah tua dan gaptek. Mungkin untuk menunggu konsul saja bisa memakan waktu 1 bulan.

Tapi memang harus kuakui, aku terlalu banyak bermain game akhir-akhir ini.

Itu adalah Genshin Impact, sebuah game RPG Open World yang sedang ramai dimainkan sekarang.

"Rudy, sudah ibu bilang jangan main game mulu, cepat kerjakan skripsimu."

Ibu masuk ke kamar dan mengucapkan itu dengan wajah tak bersahabat.

Aku menghembuskan napas, dan membalas dengan malas, "Bu, aku cuma ngerjakan daily, jadi sebentar aja. Lagian main game penting supaya tidak jenuh dan mengerjakan skripsi jadi lebih jernih."

"Jernah, jernih, jernah, jernih. Banyak alasan. Kemarin juga bilang begitu."

Ibu tiba-tiba menutup paksa laptopku. Aku sempat hendak kalap, tapi ibu menunjukkan jurus pamungkasnya, [Tunjuk-tunjuk]. Dia menunjuk tepat di depan hidungku, dan tiba-tiba membuat tubuhku terkena elemen hydro dan cryo sekaligus, membuatku membeku di tempat.

"Sekarang bantu ayah ngarit rumput buat pakan ternak. Daripada main game terus."

Kalau sudah begitu tidak banyak yang bisa aku lakukan. Akhirnya aku ganti baju ke 'baju murah', kemudian pergi ke ladang tempat ayah biasa merumput. Tidak lupa membawa arit andalan anti PKI.

Cuaca panas sekali. Di Kalimantan akhir-akhir ini memang panas. Terkutuk lah kalian para pembakar hutan, pembuka lahan, pengeruk tambang, atau siapa pun itu yang bertanggung jawab terhadap panasnya pulau kalimantan sekarang.

"Rudy, jangan melamun!" ayahku berteriak panik.

Hah? Aku bingung kenapa dia jadi sepanik itu. Tapi setelah aku mendongak ke atas, ternyata ada seekor kerbau berlari ke arahku. Kerbau itu adalah kerbau terbesar di sini, biasa dipanggil "Jayen".

Bahaya. Bahaya, yabaiiii!!

Aku tidak bisa bergerak. Maksudku, tubuhku tidak pernah atletis, pun reflekku tidak secepat Xiao atau aku bisa menyelam ke dalam tanah seperti Ayaka (wangy wangy) atau Mona. Tapi ini yabai! Kalau tidak bergerak sekarang, aku akan—

BRUK!

Jayen menabrak tubuhku. Aku terpelanting ke atas, tinggi sekali. Hidungku mimisan, kepalaku pusing, kesadaranku kenyat kenyut. Saat aku jatuh ke bawah, aku melihat bajuku yang robek tepat di depan mataku. Baju partai berwarna merah, bergambarkan banteng yang semua orang kenal.

Ah, jadi itu alasannya kenapa Jayen tiba-tiba menyeruduk aku. Gara-gara orang tuaku pendukung satu partai tertentu, kini aku harus meregang nyawa dengan konyol.

Haha, sial.

Malang sekali hidupku.

Setidaknya, sekali saja, aku ingin meramas dada Ayaka, memeluk Barbara, atau kencan malam hari dengan Eula. Tapi sepertinya itu sudah tidak mungkin.

Akuakan mati sebentar lagi.

Reinkarnasi Di Dunia Genshin Sebagai HillichurlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang