Pernahkah kamu diberikan pertanyaan, "Jika kamu bisa memilih melihat masa depan atau pergi ke masa lalu, apa yang akan kamu pilih?"
Aku pernah. Apa yang akan kamu pilih?
Hampir semua temanku memilih untuk melihat masa depan. Aku tidak mengatakan bahwa aku berbeda sendiri. Aku juga ingin melihat masa depan. Tapi, aku tak bisa menghilangkan bayang-bayang masa lalu yang ingin ku kejar kembali.
"Apakah terjadi sesuatu yang sangat kamu sesali di masa lalu, sehingga kamu ingin kembali?"
Aku menjawab, "Ini bukan tentang penyesalan. Ini tentang pencarian ku dan masa laluku".
2012
"Ara!"
"Ara!"
"Eh? Iya gimana?"
"Jadi kamu suka siapa?", tanya salah satu teman terdekatku, Nadya.
Mataku kembali menuju santriwan yang sedang tersenyum lebar menanggapi dua orang konyol yang sedang bertingkah seperti badut Jam Gadang.
Aku kembali menatap tiga pasang mata penasaran yang menunggu nama laki – laki keluar dari mulutku. "Habib". Jawabku sambil tersenyum. Dia bukan lelaki yang ku tatap tadi.
"Hah? Kok bisa? Sejak kapan?"
"Aku cuma suka dikit doang ya", aku masih tersenyum canggung. "Ini karena kalian juga loh, suka ngetawain aku sama Habib".
"Ya, gimana lagi, soalnya cuma kamu doang yang kalau bicara, dijawab sama Habib."
Aku percaya diri. Habib adalah jawaban paling aman untuk saat ini.
"Okee. Kesimpulan curhat akbar kita kali ini. Yera masih suka sama oppa – oppanya, jadi ga normal di real life. Yana udah move on dari Hamdi ke Agam. Ara suka Habib. Aku masih sama Kak Jeffrey." Nadya menutup.
Kami berempat menyelesaikan tradisi curhat tiap akhir bulan bertepatan dengan Ustadzah Lona memanggil ketua kelas tepat di depan kelas. Sepertinya, urusan Ustadzah Lona belum selesai. Buktinya, Ustadzah Lona meninggalkan buku materi bahasa Arabnya kepada Agam, ketua kelas 7.2.
Agam berdiri di samping meja Nadya, sekretaris kelas, menjelaskan tugas pengganti kelas dari Ustadzah Lona.
Aku yang duduk di samping Nadya, tentu ikut menyimak, walaupun dengan kepala menunduk dan tangan yang sibuk mencoret catatan.
Aku bukannya tidak berani berhadapan dengan si ketua kelas tadi. Tapi, perasaanku sedikit tidak tenang setelah baru saja berbohong pada diriku sendiri.
Ini merupakan jarak yang paling dekat antara aku dan dirinya.
Setelah diam - diam, aku memutuskan untuk menyukai Agam sendirian dan tidak ingin diketahui siapapun. Ya. Waktu itu, aku percaya diri sekali berkata, cukup Allah yang tahu.
Kita lihat sampai kapan ini bertahan. Aku yang selalu suka bercerita tentang kebahagiaanku. Apakah aku dapat bertahan menyembunyikan kebahagiaan cinta monyet tanpa diketahui oleh tiga kawan terdekat ku itu? Kenapa aku harus bersembunyi?
Alasannya adalah Yana.
Awal ajaran baru, Yana dan aku pernah berakhir menyukai laki – laki yang sama.
Sebenarnya tidak ada masalah berarti yang terjadi.
Laki – laki yang kami suka, ternyata menyukai ku.
Alhamdulillahnya, dia masuk dalam kategori buaya yang tidak boleh dilestarikan.
Ia mulai bergerak dengan gombalan ala – ala bocah SMP, juga mengganggu diriku dengan gangguan ala – ala bocah SD jatuh hati..