Betje, Rinduku.

41 0 0
                                    

"ah kau ini, kayak anak kecil yang butuh pembenaran saja."

"faktanya itu yang terjadi pada setiap manusia,"

2

Pekatnya langit hitam meluber ke ruangan kamar kecil ini. Jangkrik-jangkrik di luar jendela saling bertegur sapa, menyuplai kehampaan di sini yang urung dinyalakan lampu kamarnya. Asap rokok berlangsung mengudara bebas ke atap kamarnya, menyuirkan sepotongan beban yang terpinggul di pundak lelaki itu dan mengandong bersama kepulan abu-abu memenuhi roma tegas Cusack. 

Betje tetap betah di keadaan tengah melalang sorotnya ke lelaki di sisinya saat memerdayakan sebatang rokok. Mengembangkan terkaan-terkaan yang leluasa meminggirkan rencana awal ia sampai mengobarkan kehasratan hewaninya agar dijebloskan seutuhnya ia oleh Cusack.

Cusack tak bedanya dengan gadis membekam dirinya di pikirannya sendiri. lelaki itu terjaga tenang selama sebatang rokok di bibirnya menggerogoti paru-paru dirinya. Barangkali tembakau yang berpanggul tebal di tubuhnya, sudah menyotir keamanan tersendiri di relung perasaannya seraya mengendapkan seluruh asa yang mengusik lelaki tersebut. Betje memperhatikannya seperti lelaki itu sedang dihangatkan oleh dekapan seorang Ibu. 

Cusack tak menuarkan sepatah kata, menagih kepada Betje supaya gadis itu memulai ceritanya. Keduanya bergeming cukup mengaratkan lamunan malamnya masing-masing. Begitu kesadarannya yang bersambung mengayang entah ke mana, bibir Cusack bereaksi merapalkan sebuah kalimat.

"percaya nggak setiap datangnya pertemuan kembali, adakalanya mereka lebih suka bernostalgia ketimbang berbincang masa depan mereka sendiri?"

Betje merekahkan tawanya kepada dirinya sendiri, diam-diam. Dihayati lekat pemandangan lelaki di sisinya itu sedang bersundauan dengan kata-kata mengelilingi lingkaran kepala lelaki tersebut. Suasana penghujung tetesan hujan yang tersisa di tanah, mengampang rapi di sorot kelabunya. Cusack terperana keasyikan untuk menjejelkan langkah besarnya menelusuri hamparan bukit kering. 

Angin menyebak dalam hawa hawa panas menggelenjir di asmatnya, tidak mengurunkan sedikitnya kegigihan untuk memendaki satu-persatu langkahnya. Rasa egois akan tujuannya membongkar harta karun yang tersembunyi di puncak bukit, menantang sanubari Cusack lebih berapi memintasi rintangan di depan matanya.

Cuplikan diri seorang Cusack tersebut mengelaborasi titik jemu di lengkuhan Betje tatkala lelaki itu memusatkan pandangannya lurus, sangat lurus ke meja di depannya. Disuapin alunan suaranya yang menggema ke ruang kosong ini kemudian tersampirkan kejeratan Cusack pada sesuatu, entah sesuatu apa itu.

"masa depan itu penuh misteri, Cusack. Manusia lebih senang mengulangi lagu yang sama biarpun mereka telah berada di kejenuhannya, karena cuma lagu yang diulang terus yang dapat menyatakan perasaan mereka sebenarnya. Manusia lebih senang dengan apa yang sudah terjadi. Mereka tak senang hanya meraba-raba ketidakpastiaan. Jadi kupercaya dengan maksud diri kau bila mereka lebih bersuka cita pada kenangan mereka." 

Rancauan Betje membrobadir lepas ke teluk samudera dengan mengarus air yang tidak berjeda alirannya untuk menompang kebutuhan hidup makhluk di sekitar alamnya. Betje menelungkupkan miring kepalanya menghadap Cusack. Dijatuhkan pipinya, menempel di lututnya. Kedua tangannya melingkari tulang kakinya bagai memeluk rembulan yang mengharapkan bulan sabit.

Bola mata Cusack berbelok ke sesosok Betje, mengotomatiskan kepalanya turut memutar ke arah gadis tersebut. Mimpi Betje akan bulan sabit membuktikan itu bukanlah sekadar mimpi belakang. pasalnya dalam rentan semenit benda itu mengokoh mantap di bibir Cusack, ;elaki itu menumpahkan senyum yang berkomposisi ribuan makna di baliknya. 

Tersatirkan citra mata yang menghidup di redaman hitam tabung angannya untuk menyimpulkan sebuah tanda tanya di siratan senyuman tersebut pada benak Betje, namun, nihil keahliannya untuk memandatkan keinginnya bertanya kepada lelaki tersebut. Betje sendiri tak yakin petunjuk yang mendasari alasannya mengubur pertanyaan-pertanyaan di benaknya merupakan suatu kebenaran aslinya.

"mereka tak percaya dengan ketidakberadaan di mata mereka, mereka hanya percaya dengan apa yang dilihat mereka. Begitu?"

"ah kau ini, kayak anak kecil yang butuh pembenaran saja."

"faktanya itu yang terjadi pada setiap manusia," ucap Cusack dan kembali diisapnya batang rokok itu entah sudah ke berapa kali, Betje tidak sempat menghitungnya saking sibuknya menyirami pandangannya kepada Cusack dengan tubuhnya setengah bertelanjang dada. Betje melihat putung rokok tersebut lambat laun memendek dan kemungkinan Cusack akan menguras sampai tandas isi kotak rokok di meja kecil sampingnya. "manusia selalu menuntut pembenaran di dunia ini," lanjut Cusack. 

Sorot matanya terkelupas tajam ke tempatnya semula. Merajami sejauh apa yang di jangkaunya kesekian kali. Pandangan menerawangnya tidak sekelabut tadi, bersentris akan kepulan asap mengerubungi ketegasan wajahnya. Cusack mengalihkan pandangannya lagi ke Betje. "aku berani bersumpah Betje, kebenaran yang mereka tuntut hanyalah keinginan mengikuti kenapsuan semu mereka. Mereka tidak mencari kebenaran di bumi ini melainkan kepuasan tersendiri untuk mengobrak-abrik aturan main dunia."

Betje menadangkan tempat luruhan yang dicipratkan Cusack. Leburan partikel-partikel saling bersobrokan lantas meledup ke dalam pancingan Betje serta sisanya mendayung ke binaran cahaya. Serumpunan perspektif Cusack yang membulana bahwasanya kebenaran yang manusia senantiasa gencar diperjuangkan tidaklah pernah ke mana-mana. 

Kebenaran itu telah menonjolkan punuknya sedari mulanya bumi ini terciptakan yang bersifat abadi sampai ke dimensi dunia lainnya. Kebenaran yang kekal itu pula seandainya mempunyai dua mata, pastinya hanya menontoni para manusia yang berlari ke sana ke mari mencari dirinya. 

Mereka berspekulasi kebenaran telah menancapkan bendera tanda kemalangan, sedangkan bagi kebenaran mereka hanya memutari dirinya dengan mata tertutup. Sekerasnya mereka mengadili kebenaran, kebenaran tak memerlukan keadilan karena tangan Tuhan mewariskan itu semua tanpa cemaran tangan-tangan kerdil. Pengakuan-pengakuan itu tidak dijejali kebenaran, manusia lah yang mampu mengacaukan ketentuan yang telah ada.

Dan keadilan dalam kebenaran membuahkan omong kosong belakanga ketika mereka hanya dibabuin oleh keegoisan mereka yang bervisi ingin dilindungi dari serangaian buas alam ini. Sebatas pengamat mereka terhadap kebenaran tak memadatin kehendak mereka, mereka akan membenarkan apa yang dibela mereka dalam skala tertentu. 

Layaknya kebanyakan orang mengukuhkan pendirian mereka melupakan masa lalu menjadikan diri mereka begitu munafik kepada dirinya sendiri tak sejajar akan kenyataan yang melibatkan mereka terjalin nostalgia sewaktu-waktu. Menurut mereka, melupakan masa lalu dibenarkan.

Betje tiada jenuh melampirkan pandangannya kepada Cusack selagi berupaya menelaah arah pembicaraan Cusack yang akhirnya berkaitan. Mulanya ia menggenang dalam kebingungan obrolan mereka yang mudahnya disautpautkan dengan apa saja. 

Gadis itu tersenyum kecil. Waktu telah merenggut momen-momen begitu lama ini ternyata tak disangka melingsirkan praduga-praduga masalalu tak datang kedua kali. Ingatannya pun masih berproses secara baik, kejadian belasan tahun di perpustakaan di SMAnya dialaminya lagi sekarang ini.

Senyumnya amat tulus, membara di bibirnya begitu awet selagi Cusack menjelaskan pemahaman singkat itu berasal dari ayahnya. Selanjutnya Cusack mengembuskan napas, dilucuti manifestasi gadis itu, pun berkata, "aku di antara mereka Betje, yang hobi menuntut kebenaran. Aku mengacuhkan ideologi Ayah sebagai nasihat terselubungnya untukku." 

Hening menyudahi ucapan Cusack. Lelaki itu berkelana tanpa menanggalkan jejak untuk Betje buntutin justru menuntun senyum di elok gadis itu memudar.

Betje, Rinduku.Where stories live. Discover now