Betje, Rinduku

24 0 0
                                    

"kau mau menceritakan kisah-kisahmu yang ada di kertas semua ini?"

"hingga mulutku berbusa?"

"hingga mulutmu berbusa, juga aku yang akan hanyut ke dalam ceritamu, Betje."

3

Abu-abu bekas batang rokok berserakan di nakas samping Cusack. Lebih lima batang kertas tembakau tersebut ia lalapkan telah cukup untuk lelaki tersebut, bilangnya pada Betje barusan. Aroma asap rokok mengembur tubuh atletis Cusack. Menularkan ke syaraf penciuman Betje. Ia mencoba meresapi bau yang tak disenangi orang umumnya. Begitu kental memusingkan,dan pengap di bulu hidung itu. 

Dihirupnya pelan-pelan bebauan muasal kerisihan orang-orang bukan perokok untuk mendekati seorang perokok. Betje agaknya lumayan terjelembab di dalam aroma yang tercampur oleh sedikit wewangian parfum bermaskulin tersebut untuk mencolek hidungnya.

Sesudah argumen menyitakan setengah jam, waktu tak lengah berdendangan pun menuntun jarum jam di pukul 03:45 pagi buta. Betje mengikis pergulatan antara batin dan pikirannya yang mengeksekusinya terhadap sikap tak ia akuinya lantaran belum menghapus kebiasaan asumsinya buat Cusack. Ia pun terpaksa mengakui kebiasaan tak berisyarat menyelaputi akalnya oleh sewaktu pikirannya melara apabila Cusack merupakan bagian dari orang-orang yang hobi menuntut kebenaran. 

Seperempat darinya menganggap berlawanan dari lelaki tersebut, terpancarkan kesungguhan mata cokelat itu menyikapi ucapannya sendiri. Suratan pandangannya terlebih kala berjibaku di manik gadis tersebut dan membunteli kepercayaan Cusack pada kata-kata mendiang ayahnya.

Hal yang tak dapat ter—bohong—kan terletak di matanya, bukan?

Barangkali Betje bisa menghakimi dirinya sekarang bahwa apa yang ditafsirkan dari sorot mata lelaki itu bukan asumsi melompong biasa dilakukannya. Penyebab itulah merekatkan niatnya yang menggelora, menyanggah apa presepsi Cusack terhadap lelaki itu sendiri. Cusack pribadi, menyetarakan tingkat keras kepalanya pada gadis itu yang bersenggangan pendapat. 

Lelaki itu betul mempertahankan tuduhannya sendiri. Membopong dalilnya bila sorot matanya tersebut memiliki faktor dari penyelesaan yang amat dalam dan Betje memetuk diam. Kedua bola matanya terpatuk di tajamnya mata cokelat itu bersinambungan keraguan yang mencuat kembali di benaknya, salahkah ia mengartikan lelaki tersebut lagi?

Sepenggal napas gusar memasok diri Cusack, menyantromi ribuan pertanyaan pada gadis itu. Kesunyian mendulami kedua pihak, menandakan argumen mereka selesai. Cusack memenangkan argumen payah ini. Lelaki tersebut bangkit dari senderan punggungnya di penyanggah Kasur. Gerakkannya berniat membersihkan abu-abu bekas batang rokoknya sehingga memunggungi gadis di belakangangnya yang sedang menjelajar ke tujuannya untuk dibenamkan melulu kendati perasaanya masih terpasungi oleh barisan pertanyaan. 

Betje pun tidak mengkhalilkan rencananya tertunda lagi, maka, ia membelutkan baik-baik pertanyaan itu serta perasaan mengambangnya atas jawaban Cusack di sebuah kubik terdalamnya atau bahkan berpura-pura mengklaim lelaki itu diseliputi penyesalan yang menstimulasi kepercayaan Cusack bukan dari bagian orang-orang tersebut.

"Cusack, ada yang ingin kutunjukkan padamu." Betje menegakkan tubuhnya ke arah Cusack. Kedua jemarinya dikempitkan bersamaan. Cusack menghentikan aktifitas memungut serpahan abu-abu sesaat suara yang tak lain dari Betje, memanggil namanya. Ditaruh bulatan kertas yang telah lecak di meja. Tubuhnya melintir mengarah ke Betje.

"aku suka kejutan," ucap Cusack. Ia merentangkan tangan ke Betje yang disambut sebelah alis gadis itu terangkat.

"kejutannya bukan di sini." Betje terkekeh pelan. Rupa lelaki di depannya bak matahari yang perlahan menyosong ke bumi dan Betje berhasil terbelur akan sinar lelaki tersebut.

"terus di mana?" tanya Cusack penuh penasaran.

"ikuti aku!"

Segesitnya Betje berdiri dari kasurnya. Langkahnya menggeliat di lantai menuju keluar kamar tanpa menantikan lelaki di dalamnya. Ruang apartment Betje tidak terlalu lebar, bentuknya berkubik. Namun pas untuk kapasitas kebutuhannya seorang diri di sini yang mempunyai fasilitas ruangan dua kamar; satu kamar tamu serta satu kamar pribadi jaraknya saling berdempet; berseberangan dengan ruangan keluarga. 

Lokasi dapurnya tertata di pojokkan ruang apartment yang menjorok ke belakang. Disediakan juga dua tiga kamar mandi yang tempatnya menyatu di ruang kamar dan di dekat dapur. Iringan kaki Betje lantas tidak menggiring dirinya ke kamar tamu, tidak pula ke ruang keluarga maupun ke dapur. Kecuali tapakkannya berdiri di depan ruang tertutup ini.

Sebuah gudang dulunya sebelum dirombak total oleh gadis itu. Betje memutuskan menjual semua barang lamanya di tempat loakkan daripada menitipkan barang bekasannya ke rumah keluarga di Grytviken. Lantaran ia tidak merasakan menggunakan seluruh barang bekasnya tersebut atau masih layak untuk menghiasi kamarnya. 

Hanya sebagian dari barang-barang ontetiknya disimpan di kamarnya sekarang seperti; baju jersey bercap NBA pemberian ayahnya di ulang tahun ke-19, beberapa koleksi piringan hitam yang dibelinya hasil penjualan bisnis klotingan dulu, tiga buku dongeng dengan judul; Charlottes Web, The Very Hungry Caterpillar dan If You Give A Mouse A Cookie

Koleksi berikutnya ialah novel yang sempat ia baca berkali-kali tidak jua menjenuhkan; She's Come Undone karya Wally Lamb, White Oleander karya Janet Fitch, Prozac Nation karya Elizabeth Wurtzel dan High Fidelity karya Nick Hornby.

Terus terang saja, Betje suka membaca. Dulu ia membiasakan diri merawat kumpulan buku-bukunya di ruang perpustakaan di rumahnya. Koleksi bukunya tersusun rapi di setiap lemari kayu serta tergabung bersama puluhan buku milik ibunya yang juga rajin membaca buku. Setiap hari libur, ia senantiasa berinisiatif memanfaatkan waktu senggangnya dengan membantu Ibu mengelap buku. 

Ia selalu mendambakan harum kertas tua ataupun baru di setiap buku yang dibacanya, suasana hatinya menjadi melonjak berpelangi. Perpustakaan di rumahnya pun juga bukan sekadar tempat menampung buku-bukunya dan ibunya, selain dipergunakan untuk tempat membaca, Betje sering menyendiri di situasi termenungnya.

Kegiatan sederhana itu telah mengakar di zona Betje oleh sebabnya, gadis itu menangis jerit di saat peristiwa kebakaran yang menghanguskan separuh rumahnya karena arus listrik pendek. Seluruh bukunya terbakar tak bersisa. 

Api yang lebat membakar rumahnya tak mampu membikin ia menyelamatkan barang-barang kesayangannya. Kenangan itu tergores sempurna di ingatannya. Memendar gadis itu ke masa-masa sulit di umur 15 tahun.

Terjelembap ke masa kelamnya, Betje lekas tersadar dari bengongnya begitu suara memanggil namanya dari sisi kanan.

"Betje, kau nggak bermaksud memberiku kejutan di wajah sedihmu, 'kan?"

Betje mendengus pelan. "nggak .. aku hanya sedang melamun."

Betje memperhatikan sejenak sesosok Cusack yang sudah mengenakan pakaian kaos putih polosnya. Lelaki itu tersenyum simpul. Ia tidak terlalu mencium aroma rokok dari tubuh Cusack, berganti wanginya parfum khas lelaki itu. Kedua tangan Cusack memegang pundak Betje. Kontan Betje melebarkan mata dalam jangka sedetik kedipan mata. 

Sehabis itu pandangannya kembali normal. "aku ada di sini, Betje. Kau bebas bercerita apapun kepadaku layaknya dulu, bukan?" Betje hanya menganggukkan kepala. Lalu ia menggandeng Cusack masuk ke dalam ruangan.

Gelap gulita menggawangi mereka. Dan satu bunyi tombol menyala. Ruang berpersegi panjang itu seketika diterangi oleh penerangan lampu bercahaya merah.

÷

Betje, Rinduku.Where stories live. Discover now