Asrama Cloud

1 0 0
                                    

PIP, PIP, PIPP...

Aku terkejut dan menoleh ke belakang karena aku merasa aku mendengar suara klakson mobil Ayah. "Ayah?!" Saat kulihat mobilnya, ternyata berbeda jauh dengan mobil Ayah. Mobil itu terlihat lebih besar dan berwarna coklat kehitaman. Sementara mobil Ayahku lebih kecil, hitam kelam, dan lampu kiri depannya pecah dan berlubang karena kecelakaan.

Mobil itu berhenti tepat di dekatku.

Siapa yang ada di dalam mobil itu? Kaca mobil itu turun dan aku melihat wajah seorang wanita dengan suaminya di sampingnya. "Kau mau ke mana?" tanya wanita itu merasa prihatin kepadaku. Aku tak menjawab, hanya memberikan amplop yang Ayah berikan. "Oh, jadi kau mau ke Asrama Cloud juga?" tanya wanita itu kegirangan sambil mengembalikan amplopku. "Kita ternyata satu tujuan. Anak kami juga sekolah di sana." Wanita itu terlihat seperti ingin menawariku menumpang di mobilnya.

"Kau sendirian saja? Di mana orangtuamu? Mereka tidak mengantarmu ke sana? Memangnya apa yang terjadi?" Wanita itu seperti menanyakan hal yang bersifat pribadi padaku. Suaminya memberikan isyarat padanya agar berhenti menanyakan hal pribadi kepada orang lain. "Maafkan aku. Oh, ya. Apa kau mau ikut bersama kami?"

Tebakanku benar. Mereka memang menawarkanku menumpang di mobil mereka. Aku mengangguk sekali dengan perlahan. Lebih cepat aku sampai, lebih cepat juga aku bisa mengabari Alzo supaya dia selalu bersama dengan Ayah. Aku sedang benar-benar sangat mengkhawatirkan Alzo dan ingin sekali memeluknya dengan erat seperti biasa. Aku ingin sekali mengelus kepalanya dengan lembut agar Alzo bisa merasakan betapa besarnya kasih sayangku padanya. Dialah yang paling kusayang.

"Terima kasih." Aku membuka pintu mobil itu dan masuk dan memilih duduk di belakang kursi wanita itu. Ketika aku ada di dalam, ternyata aku tidak hanya bertiga dengan wanita dan pria itu. Ada juga seorang lelaki sebaya yang mungkin merupakan anak mereka. Benar juga. Tadi, wanita itu bilang kalau mereka punya anak. Rambutnya rapi berwarna biru gelap. Wajahnya cukup tampan.

"Siapa namamu?" tanya wanita itu sambil memakai riasan wajah. "Arylon Xhurolias." jawabku singkat. "Apakah kau adalah anak dari Staez Xhurolias?" tanya wanita itu lagi. "Benar." Staez adalah Ayahku. Ibuku bernama Evelyn. Yang telah meninggalkanku saat aku berusia sebelas tahun karena mengalami kejadian yang amat tragis.

"Staez adalah adikku." jelas pria itu sangat kegirangan. "Kau ternyata sudah sangat dewasa. Saat kami mengunjungimu, kau masih berumur 10 tahun. Tak terasa sekarang kau sudah remaja dan secantik ini ya, mirip sekali dengan Evy." puji Bibi. Evy adalah cara mereka—dan Ayahku—memanggil Ibuku. Aku hanya terdiam.

Aku ingat, mereka memang adalah Paman dan Bibiku. Mereka memang pernah berkunjung denganku ketika aku berusia 10 tahun. Aku juga sudah bertemu dengan putra mereka. Meskipun kami sudah bertemu, tapi kami belum saling kenal, ataupun saling memberitahukan nama. Namun aku sudah bisa menebak apa namanya.

Paman melanjutkan perjalanan menuju ke asrama. Aku merapat ke pintu mobil, berusaha menjaga jarak dengan lelaki itu. Lelaki itu—yang akan kusebut sepupuku—hanya terdiam duduk dengan tenang dan terlihat tidak waspada sama sepertiku. Lalu, terdengarlah suara ringtone handphone yang berdering cukup keras. Pamanku segera mengangkat handphone-nya dan menjawabnya. Tak lama kemudian, handphone Bibi juga ikut berdering. Merekapun menjawab telephon bersama secara bersamaan.

Di saat yang sibuk itu, sepupuku itu mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk mengatakan namanya. "Hai, Aron." sapanya ramah. Aku menoleh bingung. "Mm..." balasku menyapa dengan nada acuh kepadanya. "Namaku—" Aku langsung memotong perkataannya. "Aku tidak mau tahu namamu." Meskipun diperlakukan acuh seperti itu olehku, tapi dia tak merasa kesal atau yang lain. Hanya mengatakan, "Baiklah. Tidak apa-apa. Kau pasti sudah tahu namaku." dan kembali tenang.

ARONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang