|| 46. Pengen Pulang ||

478 81 10
                                    

Beberapa menit kemudian...

Setelah selesai makan, Donia menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur. Perutnya sudah kenyang, tapi rasa jenuh mulai menghampiri lagi. Daniel, yang duduk di kursi samping tempat tidur, menatap adiknya dengan perhatian. Ia menyadari bahwa meski Donia tampak ceria, ada rasa gelisah yang tidak bisa disembunyikan.

"Bagaimana? Sudah enakan?" tanya Daniel, sambil merapikan piring-piring bekas makan mereka.

Donia mengangguk pelan sambil tersenyum. "Sudah, Bang. Perutku kenyang, dan aku merasa lebih baik sekarang."

Daniel tersenyum lega. "Bagus, kalau begitu. Kamu harus cepat sembuh, ya."

Namun, tiba-tiba Donia menatap Daniel dengan mata penuh harap. "Bang, kapan sih aku boleh pulang ke rumah? Aku kangen banget sama kasurku!" Dengan nada manja, sambil menatap Daniel seolah menuntut jawaban yang pasti.

Daniel terkekeh mendengar permintaan Donia. "Kasur? Seriusan kamu kangen sama kasur?" tanyanya sambil menahan tawa.

"Iya dong, Bang!" sahut Donia dengan nada penuh keyakinan. "Kasurku itu paling nyaman di dunia. Apalagi setelah aku capek habis kemah. Rasanya itu surgawi banget!"

Daniel menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Kamu ini ada-ada saja. Dari semua hal yang bisa kamu kangenin, kenapa malah kasur?"

"Ya kenapa enggak, Bang? Lagian, kamu gak ngerti gimana nikmatnya bisa tidur nyaman di kasur setelah seharian capek!" jawab Donia sambil memanyunkan bibirnya, merasa tak terima dengan respons Daniel.

Daniel menghela napas, mencoba menenangkan tawa kecilnya. "Ya sudah, sabar dulu ya. Abang juga belum tahu kapan kamu boleh pulang. Itu tergantung dokter."

Donia menghela napas panjang, matanya terlihat kecewa. "Yah, aku udah bosen banget di sini, Bang."

Daniel tersenyum tipis, berusaha menghibur adiknya. "Sabar ya, Dek. Kalau buru-buru pulang tapi belum sembuh benar, nanti malah tambah sakit. Gimana dong kalau kasurmu gak bisa kamu nikmatin?"

Donia terdiam sejenak, memikirkan ucapan Daniel. Akhirnya ia mengangguk, meski raut wajahnya masih sedikit kesal. "Oke deh, aku nurut sama Abang. Tapi..."

"Tapi apa?" Daniel bertanya sambil menatap Donia dengan penasaran.

"Aku ini harus manggil Abang itu 'Abang' atau 'Kakak' sih?" tanya Donia tiba-tiba, dengan nada polos.

Daniel terkejut, lalu tertawa. "Hah? Kok bisa-bisanya kamu bingung soal itu?"

Donia mengangkat bahunya, memasang wajah tak bersalah. "Iya, soalnya kadang aku manggil 'Abang', kadang 'Kakak' Jadi bingung sendiri!"

Daniel tertawa semakin keras. "Terserah kamu aja, Dek. Senyamannya kamu."

Donia berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar. "Hmm, kalau gitu dua-duanya aja! Aku nyaman pakai dua-duanya!"

Daniel kembali terkekeh. Ia mengusap-usap kepala Donia dengan sayang. "Kamu itu lucu banget, tahu gak?"

Donia tertawa kecil, lalu dengan nada bercanda ia berkata, "Iya dong, kan aku adiknya siapa coba?"

Daniel berpura-pura berpikir serius sambil godain adiknya. "Hmm, adiknya siapa ya? Sepertinya kamu bukan adikku deh!"

Mendengar itu, Donia langsung mencubit pinggang Daniel. "Argh, sakit! Apa-apaan sih, Don?" protes Daniel sambil mengusap-usap pinggangnya.

"Aku ini adikmu, Bang! Jangan-jangan kamu lupa, ya?"

"Oh ya? Kamu yakin kamu adikku?" Daniel kembali menggoda Donia, memasang wajah tidak percaya.

Dan sekali lagi, cubitan mendarat di pinggang Daniel. "Argh! Sudah dua kali kamu nyubitku!" keluh Daniel, sambil meringis kesakitan.

"Makanya jangan bikin kesal adikmu yang cantik ini!" sahut Donia, memasang wajah cemberut sambil memanyunkan bibir bawahnya.

"Ululu, jangan ngambek dong! Abang cuma bercanda kok," ujar Daniel sambil mencubit kedua pipi Donia pelan.

"Hmph, malas sama Abang!" ketus Donia, meski ia tidak benar-benar marah.

Saat suasana mulai cair lagi, tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan. Daniel dan Donia serentak menoleh ke arah pintu.

"Permisi, Nona Donia," sapa seorang dokter dengan ramah, sambil menutup pintu di belakangnya.

"Ada apa, Dok?" tanya Daniel sambil berdiri, menghampiri dokter yang kini berjalan mendekat ke tempat tidur Donia.

Donia hanya diam, menatap dokter itu dengan rasa ingin tahu. Ia berharap ada kabar baik tentang kapan ia bisa pulang.


Bersambungg...

Brandon [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang