15

5.8K 480 40
                                    

Sejak pulang dari sungai Lantabu, perilaku Dewi mulai aneh. Ia sering terlihat melamun. Penyendiri dan enggan bergaul. Tak ada lagi kebiasaannya yang sering pulang pergi bermain ke tempat teman sebaya.

Jika tidur, Dewi sering mengigau. Meneriakkan Bapaknya berulang kali. Jika dibangunkan, ia akan menangis. Wajahnya mendadak pucat dan tampak kelelahan.

Pagi ini, Ibunya memaksa gadis itu pergi sekolah. Sebab sudah dua hari ia absen. Dewi bersikeras menolak. Dan Nyai pun tak kalah keras memaksa anaknya.

"Takut sama apa Wi, sampai tak ingin sekolah. Mau jadi bodoh kamu. Nanti uang saku Mak tambah seratus." 

Dewi tetap duduk tertunduk dan diam.

Dengan iming-iming tambahan uang saku, Nyai yakin Dewi akan menurut. Tapi, sayangnya tidak begitu. Dewi  kini malah melotot, ia bertengadah dan bola matanya naik ke bagian atas. Tak lama setelahnya anak bungsunya itu menelengkan kepala secara kaku, berulang ke kiri dan kanan kemudian menyeringai.

"Wi! Astagfirullah, kenapa kamu Wi?" Nyai panik, ia memegangi tubuh Dewi

Sementara yang diteriaki semakin menjadi-jadi, kini Dewi menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Ia kejang-kejang.

"Ya Allah! Wi sadar Wi. Sadar, kenapa kamu Nak." Nyai kini memegangi kaki Dewi beriring tangisnya yang mulai pecah.

Di rumah, hanya ia dan Dewi. Suaminya, Paman Herman melarangnya ikut kembali ke Lantabu saat mengetahui kondisi anak bungsu mereka. Tapi, Nyai tak menyangka keadaan Dewi sampai separah ini.

Di tinggalnya Dewi sebentar. Tergopoh berlari keluar. Dengan suara lantang ia berteriak di pintu depan memanggil tetangga.

"Tolong! Tolong Dewi, dia kesurupan, Tolong ...."

Memang tak perlu waktu lama, beberapa tetangga sudah berdatangan. Nyai bergegas menyuruh mereka Masuk. Sebelumnya, salah seorang mengusulkan untuk memanggil orang pintar, agar dewi cepat ditangani. Nyai setuju.

Setengah jam berlalu, Dewi masih saja kejang dengan mata melotot. Sesekali ia juga meraung. Orang pintar yang dipanggil juga belum datang, sementara itu, dua tetangga yang menolong, mereka mulai membacakan ayat suci untuk Dewi. Tak ada reaksi. Anak bungsu Nyai tetap seperti sebelumnya.

Derap langkah terdengar di lantai kayu. Ada yang datang. Lelaki tua dengan peci putih segera duduk di bagian kepala Dewi. Ia meminta Nyai melepaskan pegangannya pada gadis itu.

"Duduk!" perintahnya pada Dewi.

Sontak gadis itu menurut. Meski masih melotot.

Lelaki tua berpeci tadi langsung memegang sisi kepala dewi dengan kedua tangan. Mendekatkan telinga dewi kemulutnya. Membaca ayat suci dengan khusuk hingga matanya terpejam. Setelah itu, tubuh Dewi lemas. Ia pingsan.

"Ada jin yang ingin masuk ke tubuh anak ini. Mana orang tuanya?"

Lelaki tua itu melirik ketiga orang yang duduk melongo menyaksikan kejadian di hadapan mereka.

Nyai menggeser duduknya. "Aku Maknya, Bue" sahutnya.

"Awasi dia. Jangan biarkan terlalu lama melamun. Ajak bicara, cari tahu apa yang jadi kegelisahannya hingga dia terlalu banyak diam. Lebih sering bawa beribadah. Jangan sampai lalai. Ya sudah kalau begitu. Aku pamit pulang." Ia berdiri lalu mengucap salam.

Usai menyahuti Nyai mengangguk pertanda mengerti.

Sesaat setelah lelaki tua tadi pamit, ada tamu lagi yang memberi salam di pintu. Bue tadi datang lagi bersama tetangga yang menjemputnya.

"Di mana orang yang kesurupan?"

Terang saja Nyai langsung membeliak.

***

Mayang sudah sampai kembali di Sungai Piyasa. Ia tak langsung menuju kontrakan, melainkan kembali menemui Midan. Rupanya cuma ada Liyah di rumah.

"Kakak perlu bantuan apa?" Liyah langsung mengajukan pertanyaan melihat wajah wanita di hadapannya itu risau.

"Ah, begini Liyah. Aku ingin menjual rumahku di kampung seberang, sebab ada kebutuhan yang mendesak. Aku mau minta tolong suamimu, mungkin saja ia bisa menawarkan kepada kenalannya." Tentu saja Mayang tak mengada-ada, ia berkata jujur.

Barangkali, setelah rumah peninggalan mendiang suaminya dulu itu laku, Mayang bisa memiliki tempat tinggal tetap di kampung ini. Ia juga tak ingin menghambur-hamburkan uang simpanannya untuk terus menerus bayar kontrakan. Janji Midan untuk memberinya nafkah, juga tak bisa dipercaya sepenuhnya. Lelaki itu bisa kapan saja berkhianat, Mayang harus mengantisipasi hal itu.

"Nanti aku sampaikan Kak. Bang Dan masih di gudang," sahut Liyah.

Mayang setuju. Ia pamit. Wanita itu sekarang sudah harus memikirkan langkah untuk ia terus bertahan di tempat baru ini. Mungkin hal yang lebih awalnia lakukan adalah mencari pekerjaan.

----------------------------

Holaaa para pembaca 👋 Jadi Kuyang update lagi....

Yang mau baca versi revisi sekalian maraton sampai tamat mampir ke KBM yuk ... Yuk ...

Jadi Kuyang (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang