2

0 0 0
                                    

Keesokan harinya aku berangkat dengan sepatu usang milik adik perempuanku yang terlihat kecil, beruntung ukurannya masih muat untuk seukuran kaki milikku yang lebar. Aku melangkah pelan menuju sekolah dan saat tiba di depan gerbang kudapati sekolah ramai oleh wartawan dan juga warga sekitar.

Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi, namun dapat kudengar suara orang-orang membicarakan kematian.

Seseorang di sekolah kami ada yang mati.

Aku menerobos kerumunan wartawan yang berada didepan gerbang sekolah. aku hendak masuk namun dicegat oleh salah satu wartawan wanita.

"Nak apa kamu teman dari korban?"

Aku diam.

Aneh sekali, aku saja tidak tahu siapa yang mati tiba-tiba dilontarkan pertanyaan seperti ini.

"Dia sepertinya anak yang baik, apakah kamu ada bersama korban sebelum kematiannya?"

Aku masih diam, merasa risih dengan wartawan wanita ini. Aku beranjak pergi namun tiba-tiba kudengar nama seseorang disebut. dan seketika langkahku terhenti.

"Hinata Arisu ditemukan tewas di kamar mandi sekolah dengan tangan kiri penuh sayatan pisau. dari investigasi, sepertinya ini bunuh diri,"

Aku sontak menoleh dengan mata terbelalak.

Aris? tidak mungkin pikirku.

Aku mendekat berusaha mencuri dengar selagi meyakinkan pendengaranku tidak salah.

"...ia ditemukan di dalam bak mandi dengan pergelangan tangan penuh sayatan, berdasarkan analisis tim forensik, waktu kematian diperkirakan terjadi antara pukul 16.50"

Aku membelalak kaget. Sontak kurasa sulit untuk bergerak. Tanganku dingin dan pijakanku tidak seimbang.

Aku terduduk. Di tengah keramaian itu aku menunduk diam.

Pukul 16.50 itu tidak lama setelah aku pulang sekolah.

Dan aku melewati kamar mandi pria yang ternyata didalamnya sosok Arisu meregang nyawa.

Jadi yang kudengar saat itu bukanlah ketukan dari hantu atau penunggu kamar mandi sekolah, melainkan Arisu yang berjuang meminta pertolongan siapapun yang ada saat itu.

Dan saat itu aku yang mendengarnya, seharusnya aku menolongnya. Seharusnya aku menerobos masuk dan menelepon ambulance untuknya.

Dan mungkin sekarang ia masih bisa hidup.

Aku meremas rambutku frustasi. Sebelum aku sempat memaki diriku lebih jauh, netraku menangkap sosok tinggi mengintip dibalik pohon apel samping gerbang sekolah.

Mataku menajamkan pandangan, memperhatikan sosok itu yang tidak bergerak dari tempatnya. Seolah tidak ada yang mengetahui keberadaannya itu.

Dan ketika aku menyadari siapa sosok itu, ia tersenyum. Senyum tipis yang perlahan berubah menjadi seringaian. Kurasakan bulu kudukku merinding.

Sosok itu adalah Tama.

Dengan mata yang masih menatap ke arahku, aku melihatnya menenteng sesuatu ditangannya.

Netraku membelalak.

Itu sepatuku.

Tidak mungkin.

Saat kusadari sosok itu menghilang dibalik pohon, kurasakan mataku mengabur dan kudapati diriku kehilangan kesadaran.

Lemah.

Lemah sekali.

Aku merutuki diriku sendiri.

'Andai saja aku bisa bicara.'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

terrifiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang