Tembus 759 Kata
°•°•°
Kaleng kosong yang dipukul-pukul kesekian kalinya terlalu nyaring untuk jadi sebuah instrument pengantar tidur. Dan bodohnya, malah digantikan dengan botol hijau minuman beralkohol yang dipukul dengan sebuah sendok berkarat.
Dasar teman laknat, dimalam dengan rasa penat yang rekat melekat ia malah membuat pemikiran semakin kehilangan akal sehat. Nasib baik negara ini punya hukum yang mengerikan untuk sebuah pembunuhan, kalau tidak mungkin malam ini kawannya hanya tinggal jasad di kubangan pembuangan.
Saking berisiknya saat dimabuk kepayang. Menjengkelkan.
"Mau satu kaleng lagi? Kau terlihat sangat tertekan." Presensi disampingnya bicara, mendayun ketara tidak fokusnya. Menggelayut dipundaknya sambil mengancungkan sekaleng minuman bersoda yang masih disegel. Kalimat yang sukses mengundang tawa miris yang sangat tragis.
"Memangnya kapan aku terlihat senang." Menyambar kaleng yang disuguhkan, menarik penutupnya hingga bunyi 'trak' terdengar.
Baru setengah jalan masuk kerongkongan, sudah keluar duluan. Cuma gara-gara ucapan menggelikan teman sepernasibannya, "Saat kau menguntit Bibi joule dengan pria hidung belang miliknya. Kira kira berapa yang bibi bule itu miliki, sepertinya setiap minggu berganti-ganti. Kasihan kan paman Abe."
"Sembarangan! Bukan aku tapi kau. Darimana tahu kalau bibi joule berganti pria setiap minggu kalau bukan kau penguntitnya. Seberapa banyak yang paman Abe berikan sampai kau tergoda jadi mata mata rumah tangga orang?" Gila, orang mabuk konyol. Dirinya malah dipersalahkan atas apa yang sama sekali tidak ia lakukan.
"Um, kira-kira cukup untuk membayar sewa gubuk jelek ini. Tapi kau selalu ada saat paman Abe dan Bibi Joule bertengkar." Masih pula ditimpali.
"Kau yang mengajak bodoh, kalau bukan karena dirimu yang menarik-tarik tanganku. Mataku ini tidak akan melihat kesengsaraan orang lain sebegitu seringnnya, hampir setiap minggu." Sedikit mendorong asal kepala kawannya, jujur saja bahunya terasa kebas. Ia mengangkat barang cukup banyak siang tadi, dan kepala orang disampingnnya ini seberat buah melon yang besar, "Kau bau, mandi sana. Cepat tidur, sudah mabuk begitu masih banyak bicara. kalau muntah nanti aku yang repot. Sana jauh-jauh."
"Jimin-ah, akhir-akhir ini langitnya kosong. Kenapa ya?" kepalanya mendongak, menantang pekatnya malam. Bumantara benar-benar sepi, hanya ada rembulan yang bergantung seorang diri.
Kira-kira kenapa ya? Apa karna langit ikut menyendu, merasakan bagaimana perasaan manusia-manusia tidak berdaya yang keluar menghadapi perangai semesta, atau bintang tidak sudi menampakan sinar untuk dinikmati oleh orang buangan, "karena langitnya mendung. Mau hujan, ayo cepat masuk. Nanti kehujanan."
Dengan sempoyongan kawannya itu berangkat pulang, berbalik ingin memasuki pintu usang kediamannya sekarang. meninggalkan Jimin yang masih betah dalam kesepian. Memandang langit yang tidak mau sedikit memberi hiburan. Justru semakin memperesentasikan bagaimana kekosogan terasa begitu pengap dan gelap.
Bukan ikut menyendu tetapi agaknya bumantara mendukung ia yang di kukung rasa murung. Terlibat dalam kemuraman tidak karam-karam.
Minuman sodannya tinggal setengah, namun botol yang isinya seperempat tersisa jauh lebih menggoda. Untuk sejenak melihat, lalu teringat, waktu silam yang sudah jadi kenangan, waktu ibu bilang," Alkohol hanya untuk mereka yang sudah cukup umur, bukan untuk anak-anak seperti dirimu, dasar nakal!"
Dan Kakaknya yang menangis tersedu- sedu, dimarahi tanpa ada jeda waktu sebab ketahuan melakukan pelanggaran aturan kehidupan yang di tetapkan ibu, padahal umurnnya masih sebelas tahun kala itu. Ia sebagai yang kecil hanya bisa diam tanpa berniat membantu sebab pengertian yang di berikan ibu sudah cukup membuat satu kesimpulan meyakinkan kalau Kakak bersalah dan pantas dapat omelan panjang kali lebar.
"Apa seperti ini yang kakak rasa waktu itu?"
Lalu ia terus bergumam, apa rasanya, apa senikmat sekotak susu yang Ibu belikan, apa semenggiurkan itu, kenapa kawannya selalu hobi menenggak bergelas-gelas hingga kehilangan kesadaran, dan gumamanya berfinal pada keputusan, "Aku rasa sekali bukan masalah, lagipula Kak Yoongi juga melakukannya, dia sebelas lalu aku enam belas. Lebih empat tahun, aku lebih dewasa daripada saat kak Yoongi ketahuan waktu itu."
Cairan bening hampir turun, dari bibir botol hendak mengisi gelas yang kosong namun urung saat kawannya mendadak muncul. Berteriak lantang sambil mengacungkan botol ditangan, sukses buat rasa terkejut datang secara kontan.
"Cha! Aku menemukan satu botol penuh lagi. Kemarin aku selipkan di sandaran sofa dan, tada! Ketemu juga. Kau mau? Bukannya kita belum pernah minum bersama? Kau kebanyakan minum soda, nanti sendawamu itu mencemari udara."
Kembali mengisi ruang kosong disampingnnya, membawa satu gelas kosong kemudian membuka penutup botolnya, "Udara bersih di bumi semakin menipis. Jadi jangan dicemari lagi Jimin-ah."Memberikan satu gelas kecil, "Kau sudah melalui hal-hal yang sulit hari ini, jadi aku menuangkannya untukmu."
Meski masih ada ragu, gelas itu tetap berpindah dari tangan kawannya menjadi dalam genggamannya. Seperti yang selalu ia lihat, satu tegak cepat persis dengan yang biasa temannya lakukan.
Namun, beberapa saat kemudian yang datang bukannya ketenangan, malah kegelapan.
Written by Minminki
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTERSWEET
Фанфик[Bittersweet] Seperti sebatang dark cokelat, hanya tiga puluh persen manis dan selebihnya kepahitan. °°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°