10. Hanselio Kaban

5 1 0
                                    

Baru mengumpulkan niat untuk pergi, panggilan Tengku membawaku kembali menemuinya---yang kini sudah berada di depan rak tak jauh dari meja utama. "Apa sih?" sahutku bete.

"Liat nih."

"Apa?"

Ia menunjukkan sebuah kartu remi padaku. Apa-apaan sih si goblok ini. Dia mau mengajakku judi di perpustakaan atau bagaimana? "Ngapain lo bawa-bawa begituan ke sekolah? Lo mau masuk daftar siswa incaran Bu Tobing?"

"Bukan, elah. Ini gue temuin di sini." Sekarang cowok itu menunjuk celah antara dua buku di rak samping kami. "Kok bisa ya ada kartu remi keselip di sini?"

"Coba liat." Grisel yang baru datang dari balik rak langsung menyambar benda tersebut dan membalik-baliknya. "Siapa orang iseng yang naruh benda ini di perpus? Emm, bau mawar."

Apa?

"Bisa gue liat?" pintaku. Grisel dengan senang hati menyerahkannya. As sekop dan benar... kartu ini beraroma mawar. Sama persis seperti yang kucium di surat cinta dan sarung ponsel Nixie. Aku mengambil dua buku yang dikatakan Tengku tadi lalu membauinya.

"Lo ngapain sih, bro?" Kuabaikan pertanyaan tak penting ini. Buku yang kucium hanya berbau apek, seperti buku-buku perpustakaan lainnya. Bukankah aneh kalau benda ini beraroma mawar sendiri. Itu artinya benda ini masih baru diletakkan. Dan jika masih baru diletakkan---bukan karena terselip oleh seseorang yang hendak mengembalikan buku---berarti ini sebuah kesengajaan.

Aku menatap Tengku penuh arti. Tapi yang kupandangi hanya menampilkan muka cengo.

"Kartu itu aneh!" cetus sebuah suara tiba-tiba. Kutolehkan kepala untuk menatap Grisel. "Kenapa lo bisa bilang gitu?"

Ia merebut buku-buku di tanganku. "Dua buku ini gak bau sama sekali, yang artinya aroma mawar itu gak berasal dari sini. Dan kalau memang benda itu kena parfum dan gak sengaja keselip, bukannya itu lebih aneh lagi?"

"Aneh di bagian mananya?" Si Tengku ini memang goblok banget.

"Aneh karena buat apa coba kartu dikasih parfum segala. Terus perihal gak sengaja keselip juga pasti jarang banget terjadi. Apalagi kalau yang gak sengaja keselip kartu beraroma khas begini."

Aku tersenyum mendengar penjelasan cewek ini. Setidaknya dia lebih pintar dari sobatku yang gobloknya tidak ketulungan itu. "Lo bener."

"Iya kalian bener, ini aneh." Kata-kata Tengku ini jelas terlambat banget.

"Jadi... Master Holmes garis miring Poirot, gimana menurut kamu hal ini?"

Aku mengernyit mendengar pertanyaan gadis ini. Bukan karena panggilannya padaku, melainkan karena sepertinya ia tahu aku telah menyimpulkan sesuatu. "Maksud kamu?" tanyaku pura-pura bodoh. Dan apa itu tadi? Aku bilang "kamu"!

"Sebenarnya aku curiga sama kamu."

"Curiga tentang apa?" Aku lebih berpura-pura bodoh.

"Kamu pura-pura gak paham," cetusnya membuatku sadar aku tak pandai menyembunyikan sesuatu.

"Tadi Ali bilang kamu pingin jadi Sherlock Holmes atau Hercule Poirot, yang artinya kamu mau jadi detektif---"

"Berlagak lebih tepatnya," potong Tengku tiba-tiba.

Tapi kami berdua kompak mengabaikannya dan sukses membuat cowok itu merengut. Haha, rasakan.

Grisel kembali melanjutkan ucapannya, "Detektif biasanya menyelidiki sebuah kasus, dan kasus yang lagi heboh di sini adalah kasus gantung diri Nixie. Ali juga keceplosan bilang kamu dapat sesuatu, tapi tadi kamu buru-buru bekap mulutnya seolah gak mau orang lain dengar, yang artinya itu bisa jadi hal penting, sensitif, atau rahasia. Lalu tiba-tiba kamu tertarik banget sama kartu remi ini dan setuju bahwa apa yang aku katakan itu benar. Jadi... Tuan Holmes-Poirot apa pendapatmu tentang semua ini?" tandasnya dibarengi senyum penuh kemenangan.

Astaga... cewek ini keren sekali. Tapi aku sama sekali tak menunjukkan raut terkagum-kagum pada pengamatannya yang jeli itu. "Lumayan juga. Apa lo ke sini untuk menyelidiki sesuatu? Lo juga aneh, mana ada cewek normal yang jalan-jalan sendirian di dalam perpustakaan yang bekas jadi TKP bunuh diri."

"Kamu pintar mengalihkan pembicaraan rupanya." Gadis itu tersenyum manis. "Tapi aku gak suka mengalah, aku akan jawab pertanyaanmu kalau kamu udah jawab aku dulu."

Aku tertawa mendengar kata-katanya. Oh Tuhan, bagaimana mungkin ada gadis seperti ini. Aku berdeham untuk mengusir garis senyum dari bibirku. "Keras kepala."

"Tapi kamu tersenyum karena seorang gadis keras kepala."

"Huh, dasar." Aku memandang manik hitam yang kini tengah menantangku penuh percaya diri. Sampai sebuah suara jelek menyentak kami berdua. "Udah pandang-pandangannya? Gue masih ada di sini loh, tega banget kalian ngelupain cogan dan asyik bicara sendiri."

"Sampai kapan kalian mau di sana?" Sontak kami bertiga menoleh ke arah meja administrasi selepas mendengar pertanyaan itu. "Ini sudah bel masuk. Kalian mau terus di sini?"

"Eh, oh iya, Bu. Ini kami mau balik kok." Tengku menatap kami. "Ayo, guys."

***

Sincerely,
Dark Pappermint

The Mysterious Rose (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang