Perihal berkorban dan mengorbankan sekilas terdengar ambigu. Aku benci terhadap diriku sendiri. Terlebih dengan rasa cinta dan kasih sayangku yang begitu dalam untuk dirinya yang kian membisu.
Perumpamaannya seperti sebuah bangunan yang dibangun dengan kokoh lalu ia hancurkan sedikit demi sedikit lalu roboh. Sama seperti perasaan cinta yang ia bangun dengan kenyamanan yang memebekas tanpa henti, lalu ia jatuhkan tepat dilubang jurang yang sunyi.
Suara sirine ambulans membuat tubuhku bergetar hebat didetik kala jiwa dinginnya sudah setengah melayang.
Niat dendamku terbalas sudah. Namun aku menyadarinya. Dendam bukan akhir dari segalanya. Namun memberi penyesalan sesudahnya.
Kini suamiku berbaring lemah di atas ranjang. Tatapannya kosong. Kadang kala ia duduk diam dikursi kayu milik Ayah. Ia seakan ingin berbicara panjang namun bibirnya enggan bergerak.
Bersyukur, mulutnya terkadang memanggilku. Walau panggilannya selalu memiliki alasan tersendiri dengan embel-embel meminta pertolongan.
"Hei, kau!"
"Jika bukan kau siapa lagi, dungu!"
"Dasar tuli,"
Dan kata makian lainnya untukku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jika saja aku tidak berniat buruk padanya. Jika saja aku tidak memaksanya untuk bertemu denganku kala itu.
Apakah takdir akan berubah wahai Tuan Do Kyungsoo?
Akankah jika aku tidak mendendam, kau kini sedang mengenakan pakaian kasual dengan mendapatkan gelar 'Ayah muda' dan mengantarkan anak-anak kita menuju ke sekolah. Atau, sekedar menemaniku berjalan santai di pinggir sungai Han.
Lantas, angan-angan itu akan selalu menjadi angan bayangan.