Change

2.5K 170 27
                                    

Kalila’s POV

Alih-alih menuju kantin, gue duduk ditaman. Bella pasti tahu kenapa gue berbohong ke dia. Bella ngerti, gue butuh waktu sendiri. Karena gue merasa kedekatan gue dengan Bella bukan seperti magnet kutub utara  dan kutub selatan. Walaupun kita sahabat, tapi kedekatan kita nggak lebih seperti saudara.

Bella sering curhat ke gue tapi gue jarang curhat ke dia. Kebanyakan yang gue omongin adalah Kak Ale yang di idolain dia.

Kak Ale!

HUHA! Mendadak gue teringat kejadian tadi pagi. Kejadian yang menurut gue itu hal kecil. Keciiiiiiiil banget. Ibaratnya, masalah itu seperti bakteri, walaupun kecil, nggak kasat mata, tapi cepat menyebar dan tambah banyak dan tambah gede.

Suck!!!

Kak Ale nggak ngaca sama perbuataannya sendiri.

Kenapa musti Bastian yang disalahin? Ini kecelakaan, gue yakin banget Bastian nggak bakal nabrak gue—atau siapapun—kalau dia tahu dan terencana.

Gue menghirup udara dalam-dalam, mencoba menghilangkan sesak. Sebenarnya gue heran sama perasaan gue. Gue selalu sesak napas kalau bermasalah dengan Kak Ale. Ga tau kenapa sulit buatmaafin dia padahal dia kakak gue. Atau mungkin kebiasaan gue dan Kak Ale yang selalu akur ya? Dan gue merasa terkhianati???

Please, akur aja kayak gini, apalagi berantem?

“Hei,”

Suara serak membuat gue berjingkat kecil. Dan gue menyadari Bastian sudah ada disamping gue dengan sebotol soda. Tangannya dengan jahil merayap di bahu gue, merangkul. Sejenak, gue tenang. Gue usap tangan Bastian kecil. Sebagai respon, dia memandang gue sedih. Gue tersenyum tipis.

“Lo nggak papa, kan?” suara Bastian seperti lirihan. Gue nggak pernah melihat Bastian seperti ini sebelumnya. Dan itu membuat tawa gue meledak. “Kenapa ketawa?” Suaranya berubah jengkel.

“Hahahah, nggak kenapa-napa. Lo aneh aja, sih. Lo terkenal dengan playboy-annya mendadak sedih,” kata gue disela-sela tertawa. Bukannya merespon, Bastian malah diam, dialihkannya pandangan ke langit. Menerawang.

 “Bas,” gue merasa bersalah. “Gue minta ma’af karena kelakuan Kak Ale lo jadi kaya gini.”

Luka lebam, memar, kebiru-hitaman dirahang dan mata Bastian membuat tangan gue gatal untuk menyentuh. Bastian nggak merintih kesakitan, jadi, dengan hati-hati gue mengusapnya.

“Sakit?”

Dia nggak menjawab, nggak juga bergerak. Hanya diam. Sekilas keadaan menjadi hening ketika Bastian menatap gue serius. Pandangannya datar, matanya menusuk. Cepat-cepat gue menarik jari.

“Ceritain yang sebenarnya,” pintanya.

Menunduk, gue tertawa hambar. Bastian jelas nggak tahu menahu urusan ini. Tapi, karena dia menjadi korbannya, gue harus menjelaskan. Gue nggak mau Bastian sakit penasaran(?)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hey, Soul Sister!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang