“JADI disini ya, Bund?” sambil menunjuk rumah dihadapannya, anak perempuan itu bertanya dengan polos. “Rumahnya gedeeee—“ anak itu merentangkan tangannya “—banget, kaya istana,” masih dengan terperangah dengan rumah dihadapannya, anak kecil itu menyikut anak lelaki yang berada disampingnya. “Bagus ya, Kak?”
Anak lelaki disampingnya itu hanya mengangguk antusias, tak menjawab, ia menarik kopor kecil seukuran tubuhnya. Sementara disampingnya, seorang wanita paruh baya yang hampir berkepala tiga membantu sang suami yang sedang menurunkan beberapa tas dan kopor dibagasi mobil. Mereka hanya senyum mendengarkan ocehan anaknya.
“Nanti aku sama Kak Iqbaal sekamar nggak, Bund?” Anak perempuan itu menarik-narik dress batik sang Ibunya, mendongak.
“Nggak lah,” sahut anak lelaki disampingnya. “Kalila ‘kan udah gede. Jadi, harus mandiri.” Katanya bijak.
“Emang mandiri itu apa?” Kalila kecil memeletkan lidahnya. “Sok tahu!”
“Mandiri itu, nggak ngerepotin orang lain. Selalu berbuat sendiri kalau udah bisa.” Kata Iqbaal kecil sok bijak. Ucapannya hanyalah sebatas yang ia tahu. Bundanya tersenyum menanggapi anaknya yang sudah hampir berumur enam tahun itu.
“Nah,” sang Ayah menginterupsi. “Kalila pengen mandiri nggak?” Kalila mengangguk antusias. “Kalau gitu, bawa boneka sama tas Kalila.” Ayah nya menyodorkan tas punggung berkain flannel, berbentuk kangaroo berwarna orange. Didepannya, terdapat kantong besar, berisi mainan-mainan Kalila. Dan juga boneka kangaroo kecil.
Kalila kecil menerimanya dengan kesusahan.
“Payah,” ledek Iqbaal kecil sambil menjulurkan lidah. Ia melangkah sambil menderek kopor kecil berwarna hitam miliknya, menyusul Ayahnya yang sudah menderek kopor besar mendahului mereka.
“Kakak yang payah,” Kalila memberengut, matanya berkaca-kaca, menyipit dan hidungnya mengembang sementara mulutnya melengkung ke atas. Oh meledaklah tangisan anak kecil ini. “Huaaa Kakak jahat!” Isaknya membanting boneka yang ia pegang kemudian tasnya nyusul, ia menginjak-nginjak secara brutal dengan kaki mungilnya seolah-olah itu adalah Iqbaal kecil.
“Loh sayang, jangan nangis,” hibur sang Bunda, sambil jongkok dan mengusap air matanya. Pipinya yang chubby pun dicubit-cubit membuat Kalila semakin menjerit. Sementara sang Bunda diam-diam tertawa dalam hati. Tingkah Kalila lucu.
Didepan sana, sang Ayah menengok sekilas, ia geleng-geleng kepala melihat anak mereka. Terlebih Iqbaal yang menatap Kalila sayu, sendu dan penuh perasaan bersalah. Sang Ayah tersenyum lebar ketika Iqbaal kecil berlari meninggalkan kopornya dan memeluk Kalila yang kini terisak. Sang Ayah kembali melanjutkan perjalanannya, sambil menggandeng lengan sang istri, menuju teras rumah yang sudah disambut beberapa orang disana.
“Cup, cup, jangan nangis!” Ucap Iqbaal kecil pelan, tangan mungilnya mengusap-ngusap kepala Kalila. Tinggi mereka hampir sama, tapi tetap saja tinggi Iqbaal. “Kalau mau mandiri, jangan nangis.”
“Hiks, hiks,” tangisan Kalila kecil mereda. Ditatap Kakaknya ini dengan cemberut. “Abis, Kakak jahat! Hiks, jangan ledekin Kalila, ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Soul Sister!
Teen FictionIni cerita tentang beberapa manusia yang labil. / Ini cerita tentang isi hati seseorang. / Ini adalah cerita bagaimana kebersamaan menemukan cinta. / Orang jawa sering bilang: ‘Witing Tresno Jalaran Saka Kulino’. / Dan itu yang aku rasakan. / Denga...