Berbincang

0 0 0
                                    

"Kau tau apa kelemahan mu?"

Banyak, susah disebutkan satu per satu.

"kelebihan?"

Banyak, mungkin.

"kenapa ada kata-kata mungkin?"

karna masih ambigu apakah bisa disebut kelebihan atau tidak.

"kau ragu dengan dirimu sendiri?"

Tidak, kenapa pertanyaan mu mebingungkan?

"aku hanya bertanya pertanyaan biasa"

Tapi menjebak

"tidak. Ketika aku bertanya kelemahan, kau dengan lantang menjawab 'banyak'.
Ketika aku bertanya kelebihan ada kata-kata 'mungkin' diakhir kalimat.
kau tak perlu takut di cap sombong, toh cuma aku yang mendengar jawaban mu, tidak akan ku sampaikan ke siapa pun"

Entah lah, terkadang aku berfikir bahwa aku memiliki segudang bakat dan kelebihan yang tidak dimiliki banyak orang.
Dan terkadang aku berfikir aku hanya menyumbang karbondioksida setiap harinya ke atmosfir.
Mungkin terlalu banyak mengkonsumsi media sosial sehingga lupa cara bersyukur, terlalu fokus melihat kehidupan orang, terlalu serius dengan kelebihan orang lain.
Aku cuma lupa bagaimana cara bersyukur. Lupa cara menikmati semua yang ada.

Kau tau cara membalikkannya?

"entah lah, kau terlalu gemar berfikir tentang sesuatu yang tidak seharusnya kau pikirkan. Dulu kau tidak begitu seingat ku. Kenapa tiba-tiba berubah?

Tidak se asik dulu. Kau terlalu sibuk dengan gadget setiap hari. Bahkan sedang berbincang dengan ku kau masih bisa melihat gadget. Kadang aku bingung kau mendengarkan perkataan ku atau tidak"

Begitu kah?

Aku berubah menjadi menyebalkan ya?

"terkadang, tapi tenang. Aku sudah terbiasa"

Kau tau ketakutan terbesar ku apa?

"kau tidak pernah memberi tahu"

Kehilangan.
Ya aku tau semua orang takut kehilangan. Kehilangan punya wadah yang besar. Mulai dari kematian hingga kehilangan sesederhana lost contact. Kau tau bukan aku gampang untuk berteman tapi susah untuk benar benar berteman seperti dengan mu. Aku pernah kehilangan seseorang yang sudah ku anggap teman sendiri. Benar-benar dekat.
Salah ku karna memberi celah.
Beda pemikiran ternyata.

"beda pemikiran?"

Iya, beda. Aku kira dia juga menganggapku hanya sebatas teman.
Ternyata tidak.
Classic bukan?.
Aku terlalu kuno untuk yang namanya peka. Dan dia tidak mengajarkan ku bagaimana cara untuk mengetahui perasaan orang lain tanpa diberi tahu. Dia lupa bahwa aku bukan peramal.
Aku tidak bisa membaca isi pikiran orang.

"lalu?"

Setelah ku pikir-pikir ternyata dia sudah sering mencoba untuk memberitahu.
Tapi aku terlalu bodoh, terlalu polos. Malah mengira dia hanya sekedar berkata dan bertanya.
Dan tentu dia pergi karna perjuangannya tidak diketahui. Berjuang tanpa diketahui sedang berjuang oleh yang di perjuangkan.
Dia hebat, dan aku kebingungan karna kehilangan manusia baik seperti dia.
Aku juga sakit karna satu kotak di hati ku tiba-tiba kosong.
Awalnya bingung isinya kemana.
Ternyata terlalu lelah untuk menjadi bayang-bayang.

"tidak kau coba panggil dan perbaiki?"

Tentu aku mencoba tapi sudah terlajur basah. Dan dia sudah menemukan payung.
Aku hanya memberi hujan tanpa memberi payung, wajar dia mencari payung untuk berteduh.

"kau tidak salah, seharusnya dia tau kau orang seperti apa setelah bertahun-tahun menjadi teman"

Tidak
aku salah
Kata-kata ku terlalu sakit untuknya. Aku terlalu suka berbicara tanpa berfikir.
Wajar dia pergi.

"kata-kata"

Ada kata-kata yang pernah ku ucapkan tanpa sengaja, mungkin karna itu dia pergi.

"jangan menyalahkan diri sendiri, kau juga sakit"

Tentu saja.
Aku sakit, kaget, bingung.
Tiba-tiba kehilangan pegangan.
Tanpa aba-aba.
Tanpa persiapan.
Tak usah ku jelaskan betapa sakitnya, sampai sekarang aku masih suka melihat kebelakang, ternyata dulu sedekat dan semenyenangkan itu.
Tapi apakah dia senang?
Mungkin tidak, karna selalu ada yang mengganjal ketika melihat ku.
Aku jahat.

"kau terlalu keras"

Kalau tidak keras, bisa saja aku menyakiti orang lain dengan kesalahan yang sama.

don't grow up, it's a trapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang