Sesal

10 2 1
                                    

Di sini aku sekarang. Di dalam kamar VIP berukuran 4 x 8 meter persegi. Di sampingku terdapat meja penuh dengan karangan bunga dan parcel buah yang belum sempat dibuka. Berjarak dua meter ada sofabed yang kini kosong, bekas putra bungsuku berbaring semalam. 

Ke mana dia, batinku. Mungkin sedang mencari sarapan atau mencari udara segar.

Gorden sudah terbuka lebar, mengizinkan surya masuk menembus vitrase. Kulirik jam dinding di atas televisi yang kini mati. Seolah lelah, semalaman dipaksa menyala menayangkan pertandingan bola menemani kebosanan putraku.

Aku tahu dia lelah, dia bosan. Satu bulan penuh dia bergiliran dengan ketiga kakaknya menemaniku, mengurusku, menyuapiku, membantu membuang hajatku.

Jarum pendek mendekati angka 6, sementara jarum panjang mengambil ancang-ancang untuk berpindah ke angka sembilan.

Ah, aku terlambat lagi, sesalku.

Di balik tumpukan karangan bunga dan parcel buah bertuliskan semoga lekas sembuh, samar terlihat ujung sampul buku coklat lusuh. Ujung kertasnya sudah menguning. Aku ingat menantuku--Hanifa--yang membawanya. "Punya Papah," katanya menitipkan buku itu pada adik iparnya, yang kini bertugas menungguku.

"Tapi Papah udah nggak bisa baca."  Aku mengingat jawabannya.

Ingin aku berkata, Biarlah. Terima dan serahkan saja padaku. Bukakanlah sembarang lembarannya. Setidaknya aku bisa membacanya meskipun hanya dalam hati.

Salahku, mengajarkan keempat anakku hanya cara mandiri, bisa tegak kuat berdiri tanpa mengiba dan meminta. Kini, cita-citaku berhasil. Keempat anakku sudah mapan. Mereka bahkan bisa membiaya seluruh pengobatanku. Pengobatan terbaik, kamar mewah dengan fasilitas lengkap, hingga makanan enak.  Namun semua itu tak lagi bisa kunikmati.

Hanya Hanifa yang bisa memenuhi hausku. Dia hanya bisa berkunjung setiap menjelang petang. Membersamaiku sholat ashar dan membacakan buku sampul coklat lusuh di dekat pendengaranku. Bagai petrikor, kuhirup dalam-dalam aromanya. Memenuhi setiap inci paru-paruku. Membuangnya perlahan, berharap cukup hingga kedatangan Hanifa berikutnya.

Kumaklumi kehadiran singkat Hanifa. Dia ibu rumah tangga mengurusi sendiri rumah dan kelima anaknya. Semoga hidupmu bahagia, Nak. Kuusap kepalanya setiap kali dia datang. Tidak, aku tidak bisa mengangkat tanganku. Dia yang mengambil lenganku, mengangkatnya dan meletakkan di ubun-ubunnya. Seperti meminta doa dan restu.

Perih rasanya. Aku yang memintamu. Meminta dari orangtuamu mendampingi anak sulungku yang tak kunjung melangkah ke jenjang pernikahan. Anak sulungku yang terlena dengan bisnis dan wanita-wanita cantik di sekelilingnya.

Buku itu menganggur kini, menunggumu Hanifa. Hanya kau yang bisa membacakan Quran untukku. Keempat anakku tidak sempat kuajari. Sesal kurasa kini. Karena yang kubutuh kini bukan kemewahan yang sebentar lagi akan kutinggalkan.

Bacakan terus, Hanifa. Kirimkan padaku meskipun kau jauh. Meskipun aku tidak lagi bisa mengusap ubun-ubunmu. Ajarkan pada cucu-cucuku cara memuliakanmu dan anakku. Mintakan ampun untukku, yang bahkan tak bisa mengajari anak-anakku cara menuntun kepergianku kini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bejana MaknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang