Bab ketiga

21 9 18
                                    

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku selalu mendiamkan dia, siapa lagi kalau bukan ayahku. Oh ayolah, aku bukan anak kecil lagi, semua remaja diluar sana pasti juga ingin bersenang senang di usia mereka saat ini bukan?

Rencana ku hari ini adalah bersepeda di taman, karena ini hari libur dan teman temanku masih tidur. Jangan heran, mereka bahkan bisa bangun sangat siang disaat bersantai seperti ini. Pukul 06.00 aku segera bersiap untuk pergi, dan mungkin akan membawa beberapa roti untuk kumakan nanti saat tiba disana.

"Bunda, aku mau izin naik sepeda keliling komplek dulu boleh?"
"Iya nak, jangan lupa pamitan sama ayah juga."

Aku belum bercerita. Semuanya kurahasiakan dari bunda.

"Hm, bunda aja deh yang pamitin, soalnya aku buru buru udah ada janji."
"Loh, cuma pamitan kan ga lama sayang."
"Aku gamau bun, kali ini bener bener buru buru, maaf ya bunda, assalamu'alaikum."

Maaf.

"Kalau tau hidup bakal se dramatis ini, gua bakal milih buat mundur aja waktu balapan sperma, ngeselin amat."

Aku mulai mengayuh sepeda itu. Menelusuri beberapa jalan dan taman bermain. Huff, lihatlah betapa bahagianya keluarga kecil disana. Aku iri sekali, bagaimana bisa mereka sangat dekat dengan ayahnya?

Tanpa kusadari, karena aku keasyikan menonton mereka, aku hampir lupa kalau aku sedang berada di sepeda sekarang. Alhasil keseimbangan ku terganggu dan brakk! Sial. Aku jatuh.

"Aw, sakit banget anjing lutut gua, mana berdarah lagi. Ada ada aja sii."
"Ceroboh amat ni bocah, gaada bedanya sama di sekolah. Sini tangan lu gua bantu."

Tangan itu terulur. Tunggu, tangan siapa? dan, kenapa aku seperti mengenal suaranya? Apa dia..

"Gausah, gua bisa sendiri."

DAMN! ITU BENAR PRIA YANG PERNAH KUTABRAK SAAT DI SEKOLAH!

"Yee, dikasi bantuan malah sok bisa. Udah sini, ga lihat mata lu? berdarah tuh lutut tar infeksi kalau kaga buru di obatin."

Anjir jantung gua kenapa, kenapa deg deg an gini. Oh iya lupa, kalau ga deg deg an kan udah pasti mati.

Dia meletakkan tangan kananku di bahunya, dan tangan satunya lagi berada di pinggang ku. Bisa kalian bayangkan? aku sedekat itu dengan pria ini!

"Thanks."
"Sama sama, ngomong ngomong, lu kenapa bisa sampe sini deh? jauh amat main lu ternyata."

LOH?

"Rumah gua deket sini, harusnya gua yang tanya, lu sendiri ngapain disini."
"Lah rumah gua mah juga sekitar sini."

DOUBLE KILL.

"Oh."

Aku berusaha tetap terlihat keren. Anjay, keren ga tuh.

"Gua Arka. Sorry, Arka Pradipta."

Jadi namanya Arka.

"Gua Asa, Thalassa."
"Ga buruk."
"Hah?"
"Nama lu cakep, apalagi kalau orangnya kalem ga petakilan."
"Dih? suka suka gua."
"Serah dah."

Tenang, masa lu baperan amat si hati?! gausah kesenengan deh lu. (batinku)

"Yaudah, gua pulang dulu, lu bisa pulang sendiri kan? apa perlu gua anter?"
"Gausah, gua bisa sendiri."
"Yowes kalau gitu, take care."
"Iya."

Kalem amat neng jadinya, mana ni sisi reog neng Asa. Hadeuh.

Dan, dia sudah mulai berjalan menjauh dariku, aku menatap punggungnya selama beberapa detik, sampai..

"Woi, kalau tar malem ada yang bawain martabak ke rumah lu, berarti itu gua."

APASIH?!! KENAPA TERIAK? BIKIN MALU! TAPI SALTING JUGA SI, HEHE.

"Karepmu, emang gua ngurus?" Aku membalas teriakannya dan segera menuju ke rumah. Paling tidak hari ini membuat ku merasa sedikit baikan, berkat pria itu, Arka.

ARKASA [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang