Aku tak ingin menjelaskan secara detail sosok itu. Meski kerap bayanganya selalu ada, menghantui setiap detik yang terlewat tanpa rasa. Aku menyadari, bahwa semua hanyalah mimpi untuk bisa bersamanya.
Namun, kenapa aku terus begini? Aku selalu memaksa untuk mengatakan bahwa ini semua hanyalah kepura-puraan semata. Aku selalu berharap bahwa Adrian adalah sosok terakhir dalam hidup, walau itu hanyalah angan belaka.
Aku benci saat semua orang selalu menghakimi, bahkan beberapa dari mereka tak segan membicarakanku secara terang-terangan. Kemudian dengan sengaja tertawa keras. Apalagi di saat kelas tak ada guru, aku bahkan seringkali menenggelamkan kepala di lipatan tangan demi menutupi tangis.
Lalu saat pulang sekolah, kembali harus melihat sosok Adrian yang pulang bersama gadis lain. Kali ini gadis yang bersamanya sangat cantik. Aku menghela napas, pantas saja ia meninggalkanku.
Sadar diri, Hana. Sadar!
Sesaat aku tersentak, menyadari bahwa ada sesuatu yang terlupa. Tapi apa? Aku bertanya pada diri sendiri. Mengingat kembali sesuatu yang terasa kurang. Ah, iya!
Aku menghentakkan kaki. Lupa bayar uang kost.
***
"Uang kosan kamu ini udah jatuh tempo, mau tiga minggu. Mau sampai kapan saya kasih keringanan lagi?" Bu Rima, pemilik kost-an itu memperingati sembari berkipas menghadapi cuaca yang panas atau hanya sebagai gaya untuk bisa menekanku.
Aku mengangguk. Setelah berbincang dan memohon, akhirnya wanita paruh baya itu mau memberi waktu sedikit lagi. Aku menghela napas, disertai dengan kepergiannya yamg diiringi gelengan kepala. Kemudian menutup pintu rapat-rapat.
Lalu segera meraih ponsel yang tergeletak di meja depan jendela sana. Mencari dua nomor berbeda yang terletak di daftar paling akhir dari penelepon. Sesaat menarik napas, detik kemudian mencoba menelepon salah satu dari mereka.
Tersambung. Kali ini rasanya lebih gemetar daripada menelepon Adrian semalam. Aku bahkan tak ingin ia mengangkatnya walau hati kecil berharap.
"Halo?" Napasku tertahan, mendengar suara wanita yang sedikit familiar itu.
Aku terdiam sesaat. Tak tahu harus bicara apa.
"Hana, 'kan?" Suara di telepon itu memanggil.
"I-iya. Papa ada?" Aku bertanya pelan.
"Oh. Gak ada. Mau apa? Minta duit lagi? Kan minggu kemarin udah dikasih. Kurang?"
Kembali, aku terdiam. Ingin sekali rasanya menyanggupi semua ucapannya yang begitu menusuk. Namun tak mungkin, ular sepertinya akan selalu punya bisa untuk menjinakkan Papa.
"Bilang sama Papa, kalau dia masih punya anak di sini!"
Aku langsung mematikan telepon. Kenapa harus wanita sialan itu yang memegang ponsel Papa? Tidak ada pilihan lain, harapan terakhirku hanyalah pada Mama.
Aku menarik napas cukup dalam, kemudian menekan nomor itu. Kali ini tak langsung diangkat. Mungkin Mama sibuk. Namun setelah cukup lama, akhirnya terdengar juga sahutan di seberang sana.
"Ma?" Aku langsung memanggil. Kali ini dengan nada yang bergetar seperti anak kecil.
"Kenapa, Han?" tanya Mama. Sekilas terdengar suara deru mesin kendaraan. Sepertinya ia tengah berada di jalan.
"Mama sibuk?" Aku mencoba menebak apa yang ia lakukan.
"Engga, sih. Mama cuma mau ke rumah sakit aja."
"Mama sakit?"
"Bukan. Mama sama om Irman mau ke rumah sakit buat cek kandungan. Ini bentar lagi mau sampai, kamu telfon mama kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HALU (On Going)
Teen FictionTahu, 'kan, sakitnya mencintai saat kita tak dihargai? Tahu, 'kan, perihnya berdiri di antara keluarga yang tak lagi utuh? Tahu, 'kan, rasa sakitnya sendiri ditemani sepi? Bagiku, bahagia itu hanyalah HALU. -- On going! FB ; @Nia