Kupandang dirimu, berdiri dihadapanku.
Tanganmu kau angkat, jemarimu kau tempelkan.
Setelah kau rasakan tekstur itu, kau aduk-adukan dengan lembut.
Aku tak mengerti apa yang kau lakukan.
Matamu ... tak memantulkan cahaya.
Aku mengerti ini memang sudah waktunya sang pemalu itu berada di langit.
Menggantikan si gagah yang sudah Lelah.
Meski begitu, tidak bisakah kau sedikit saja terlihat hidup?
Tidak, bukan seperti itu.
Aku tidak memintamu membentuk ekspresi itu.
Hentikan, kau membuatku muak.
Sudah sering kulihat kau membenamkan wajahmu.
Kau gali dalam-dalam temanku yang lembut itu.
Kau berteriak, menumpahkan segalanya.
Tapi raunganmu itu, tak pernah didengar orang lain.
Tak pernah kau perlihatkan pada orang lain.
Lalu kenapa kau perlihatkan padaku?
Aku tak bisa bicara, tapi kau selalu mengajakku berbincang.
Kau selalu mendekatiku dengan berbagai mimik dan ekspresi.
Melontarkan seluruh isi kepalamu.
Setelah kau merasa hatimu itu ringan, kau pergi meninggalkanku.
Jika saja kau tau, aku selalu ingin menjadi yang pertama menepuk pundakmu.
Mengelus kepalamu dengan lembut, dan membisikan kata-kata indah yang kau sukai.
Tapi aku tidak bisa, aku bahkan tidak hidup.
Jika saja penguasa memberiku kesempatan ... tapi itu tidak akan mungkin terjadi.
Sudah digariskan olehnya kepadaku untuk menjadi seperti ini.
Tak mungkin kuingkari, dan tak akan kulakukan.
Namun kuharap setidaknya kau mau mencoba menerima, apa yang telah ia berikan.
Aku tau kau pasti bisa, senyuman manismu dimasa silam.
Masih lekat kuingat.
Aku percaya kau pasti dapat kembali menjadi sosok yang ceria seperti dulu.
Tanpa adanya kebohongan, tanpa adanya kekosongan.
Semangatlah.
Jika semua itu belum bisa kau capai, setidaknya ada aku disini bukan?
Benda mati yang menerima keluh kesahmu.