01.

11 2 0
                                    


Pagi dihari sabtu. Kueratkan tali sepatu di atas batu, kulangkahkan kaki sebelum mentari benar-benar muncul. Langkah yang pelan berubah lebih cepat. Tujuanku sekarang duduk di pasir dan menghadap luasnya air.

Mungkin sekitar tiga puluh menit setelah berlari, Aku sampai di sini. Mentari pun sudah mulai menghangatkan bumi. Kulepaskan sepatu, membiarkan pasir yang halus itu menggelitik jemari kaki. Menggoyangkan ayunan kayu yang kunaiki. Di sini masih sepi, dan itu menenangkan hati. Berdiam seorang diri dengn latar ombak yang teratur jatuh menepi.

Aku melihat seseorang berjalan sambil menenteng sandal dari kejauhan, dari samping sepertinya Aku kenal dengan perawakannya. Tidak lama dia menoleh kearahku, dan benar saja senyum kotak dengan cekungan manis di pipinya terlihat. Perlahan dia mendekat kearahku, Aku juga tidak bisa menahan senyum senangku.

Dia adalah Kak Tulus. Sering kupanggil Kaktus. Aku mengenalnya dua tahun lalu. Saat itu Aku duduk sendiri di taman, aku menangis dan dia memberikan setangkai bunga ungu yang kulihat di pinggir air mancur taman. Aku tidak tahu dia dari kapan sudah di sampingku, yang teringat sekali dia mengucapkan kata padaku.

"Kau tidak sendirian. Ribuan orang mengalami hal yang sama. Kita sama, Okay?"

Aku hanya menatap dan merenung mendengar ucapannya. Senyum kotak itu tidak hilang, lengkap dengan cekungan manis yang melekat di pipi kirinya yang sekarang menjadi favorit.

"Kita teman kan?"

Dia mengulurkan tangan kehadapanku. Sedikit ragu namun, Aku membalasnya. Tidak tahu, rasanya sedikit lebih baik dan senyumku terulas setelahnya, menggenggam setangkai bunga ungu yang dibawanya. Tindakannya mungkin akan terlihat sedikit tidak biasa untuk beberapa orang, tapi anehnya aku tidak keberatan dengan itu.

Kembali saat ini, dia juga ikut duduk di samping ayunan kosong. Bermain dengan ayunan dan tampak begitu senang.

"Kaktus di sini juga?"

"Ya, sedikit berjalan-jalan di hari libur. Dan ternyata bertemu dengan manusia yang suka sendirian, jadi menemanimu mungkin tidak buruk"

"kebetulan sekali ya Kaktus kesini. Aku suka di sini Kaktus. Tenang"

Aku melihatnya hanya mengangguk kecil. Tidak ada percakapan lagi, hanya suara ombak yang menjadi latar dan angin lembut yang menerbangkan helain rambutnya. Aku senang dengan Kaktus, dia tahu cara menghiburku.

Aku lebih memilih berjalan daripada berlari. Matahari mulai meninggi sehingga jalanan mulai terik. Beberapa orang yang kukenal kulemparkan senyum, ada yang balas senyum dan ada yang hanya memandangku. Aku memaklumi, kembali berjalan dengan Kaktus disampingku. Kaktus kelihatannya cuek tapi ketika bercerita membuatku sering melepaskan tawa. Dia sering bertanya padaku mengapa Aku tertawa dengan kata-kata yang menurutnya tidak mengandung lelucon didalamnya. Ekspresinya lucu, dan Aku suka.

"Aku duluan".

Kami berpisah, Aku melihat sahabatku Ken mengayuh sepeda beberapa meter di hadapanku. Arahnya dari rumahku, mungkin dia baru saja dari sana. Memang dia sering sekali bermain kerumah, apalagi hari ini libur.

"Baru Aku mau menyusul mu" Ken tepat berhenti di depan sepatuku.

"Dan Aku sudah sampai".

"Kenapa tidak mengajakku sih, sudah kubilangkan kalo mau keluar tuh ajak Aku" protes Ken yang tidak terima karena Aku keluar tanpanya.

"Percuma ya, kau kan masih molor kalau kuajak lari" .

"Ya kan bisa dibangunin. Jangan keluar sendiri terus" ujarnya sedikit memelan.

Kaktus✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang