PROLOG

620 15 2
                                    

First of all, welcome to my story.

Cerita ini, sudah berkali-kali di revisi, di rubah alurnya, dan bahkan juga sampai hiatus lama karena aku, sebagai author sering ga punya ide.

Bikin alur, plot, dan ending. Sudah 5 tahun, cerita ini terus direvisi dan aku memutuskan sempat ingin menghapus cerita ini. Tapi karena dukungan dari teman-teman terdekat, mereka ingin membaca cerita ini. Aku memutuskan untuk melanjutkan cerita ini, dengan judul, alur cerita, dan latar belakang yang baru.

Aku minta maaf sebesar-besarnya karena terus plin plan dalam pembuatan cerita ini. Dan maaf jika ada kekurangan dalam cerita ini.

Enjoy Reading.


Reina Arabella bukan siapa-siapa di kampusnya. Gadis 20 tahun itu lebih suka menghabiskan waktunya dengan buku-buku sastra dibandingkan bersosialisasi. Rutinitasnya selalu sama—kuliah, lalu pulang. Bukan karena ia tak ingin menikmati masa mudanya, tetapi karena Aang Ayah yang begitu protektif terhadapnya.

Namun, malam itu berbeda. Setelah lelah menyelesaikan tugas kuliahnya, ayahnya mengajaknya makan malam di luar. Awalnya, Reina mengira ini hanya momen kebersamaan biasa antara ayah dan anak. Tapi siapa sangka, ada seseorang yang ternyata telah menunggu di meja makan mereka.

Aldrian Devandra.

Nama itu bukan sekadar nama asing. Semua orang di Universitas Garuda mengenalnya. Pria 24 tahun itu adalah sosok yang diidamkan banyak wanita—tampan, cerdas, dan berkarisma. Mahasiswa jurusan Manajemen itu bahkan dikabarkan memiliki bisnis tempat billiard sendiri, belum lagi keluarganya yang kaya raya.

Reina menatap pemuda itu dengan perasaan campur aduk. Sementara Aldrian, dengan senyum setengah malas, menatapnya balik seolah ini hanya pertemuan biasa baginya.

"Reina, kenalkan. Ini Aldrian, anak teman Ayah," Ujar sang ayah dengan nada hangat.

Dalam sekejap, Reina sadar. Malam ini bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah hidupnya—entah menjadi lebih baik, atau justru lebih rumit.

Suasana di meja makan terasa semakin menyesakkan. Reina duduk diam, jemarinya saling menggenggam erat di bawah meja. Jantungnya berdebar kencang, dan udara seakan berubah menjadi lebih berat setelah mendengar ucapan ayahnya.

“Jadi, Gerald… Kita jadi menikahkan anak-anak kita, kan?” Suara sang ayah terdengar begitu santai, seolah pernikahan hanyalah sekadar transaksi bisnis antara dua keluarga.

Reina membeku. Apa yang baru saja ia dengar?

Tatapannya beralih ke Aldrian yang duduk di seberangnya. Pemuda itu menghela napas panjang, seakan situasi ini hanya membuang waktunya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mengalihkan perhatiannya pada ponselnya, jari-jarinya bergerak cepat di layar, seolah hal ini sama sekali tidak penting baginya.

Reina ingin berbicara, ingin menolak. Namun, suaranya seakan tertahan di tenggorokan. Bagaimana mungkin seseorang bisa menikah dengan orang yang bahkan tidak menunjukkan sedikit pun ketertarikan?

“Tentu saja,” Suara Tuan Gerald Devandra akhirnya terdengar. “Ini akan menjadi keputusan terbaik untuk keluarga kita.”

Keputusan terbaik? Bagi siapa? Bagi mereka—para ayah yang menganggap anak-anak mereka sebagai bagian dari permainan catur?

Tangled HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang