Kaktus

199 9 0
                                    

Ada masa, ketika hari berjalan seperti biasa. Santai dan nyaman, bahkan sejuk bagai tidak ada yang terjadi. Apalagi saat di mana hari-hari penuh aroma manis terulang. Tidak akan ada yang menyangkal bahwa itu menyenangkan. Akan dengan mudah pula dikatakan bahwa rasanya begitu spesial hingga membuatmu dapat mati dengan tenang.

Pagi itu, seorang lelaki berada di hadapan sebuah makam yang senantiasa dihiasi bunga-bunga putih. Wangi serta aura khas dari makam itu benar-benar suatu hal yang unik hingga rasanya tidak bisa menangis. Tapi, setiap saat, setiap detik, pasti teringat akan kenyataan dan berakhir dengan tangisan.

Fenly menghela napas panjang sebelum meletakkan sebuket bunga putih di atas makam. Ia menepuk-nepuknya sejenak seraya melukiskan senyum.

“Aku baik-baik aja, kok Kak. Tenang aja, ya?”

Selama di perjalanan, ia terbayang akan senyuman itu. Mungkin lebih tepat dikatakan cengiran yang begitu manis di mata perempuan, tapi bermakna ribuan emas di matanya. Rasanya ia mengerti kenapa orang-orang mudah tertarik dan jatuh cinta pada senyuman itu.

Namun, ia teringat akan kalimat, “Kembar, tapi lebih ganteng  lu, Fen.”

“Apaan, sih,” decih Fenly. Ia terkekeh kemudian menengok ke samping. “Kak Sendy nyebelinnya gak pernah habis, ya?” ia bertanya pada sosok penuh senyum itu.

Sosok dengan rambut gondrong hingga poni menutupi sepasang mata itu pun ikut terkekeh. “Ya, memang bener, kok. Semuanya suka lu, Fen. Semuanya juga sayang sama lu. Setiap hari kalau ketemu mereka, pasti reaksinya kayak ketemu pangeran.”

Sekali lagi, ia terkekeh dan hampir tidak sadar akan adanya lubang. Tangannya meraih ke sosok itu, namun tidak dapat ia raih. Ia berhasil berdiri tegak kembali.

“Tapi, ngaku kita kembar. Berarti lu juga ganteng, Kak.”

Lelaki di sisinya itu tetap tersenyum. “Serah lu, dah. Nyerah aja kalau sama lu, mah.”

Senyum dan kekehan terukir jelas di antara keduanya, candaan yang entah bagaimana hanya dimengerti oleh mereka juga terus mengalir deras. Bersamaan dengan itu, Fenly tidak sadar ia sudah mencapai halte bus. Napasnya terhela panjang, bukan karena lelah, tapi karena merasa energinya semakin terkuras setiap harinya.

Bus yang mengarah sesuai tujuannya pun datang. Ia naik dan duduk di dekat jendela. Ponselnya berdering pada saat bersamaan, tapi tidak ia hiraukan dan memperhatikan pepohonan yang mulai menggugurkan dedaunannya.

“Kak, apa benda yang paling merepresentasikan diri lu?” Fenly bertanya tiba-tiba.

Sedangkan sosok di sisi, yang tidak juga terlepas dari senyum, menjawab ringan. “Gak tau? Kucing? Baju beruang? Dino?”

Itu membuat Fenly berpikir. “Bener juga. Lu suka sama dino, ya?”

“Iya.”

Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali fokus pada perjalanan hingga mencapai sebuah gang kecil yang tertutup oleh toko bunga yang besar. Warna hijau begitu mendominasi, ia sama sekali tidak terganggu. Justru begitu penasaran.

Setiap harinya diikuti nada-nada piano yang bergelantungan di atas kepala, melihat bentuk kecil dan sederhana keindahan alam seperti ini cukup membuatnya tenang. Sesekali melupakan segala jenis warna suara tidak ada salahnya. Apalagi, akhir-akhir ini selalu melihat warna suara yang sama. Ia tidak muak akan itu, justru senang karena merasa memiliki teman.

Namun, satu dari sisi tubuhnya berteriak terus-menerus dan memintanya untuk beristirahat dari itu. Maka, ia sengaja mampir ke toko bunga tersebut dan menghampiri langsung sang pemilik.

Beliau ramah-tamah, begitu tenang dan bergerak dengan cepat, namun tepat. Menyenangkan melihat seseorang yang begitu santai serta tidak begitu memikirkan banyak hal. Seperti mengingat sesuatu yang sudah berdebu, tapi masih bersih secara lucunya.

“Saya...sering mendengar teriakan di telinga saya,” Fenly berujar ketika sang pemilik toko bertanya bunga jenis apa yang dia inginkan. “Juga warna suara yang sama. Suara yang sama. Kalimat yang sama. Pembicaraan yang sama. Semuanya seperti terus berputar dan terulang—seperti mendengarkan dan menonton video yang sama setiap harinya. Tapi, saya melakukan kegiatan setiap hari sama seperti biasanya—tidak ada yang berubah.”

Sang pemilik toko menatapnya dalam. “...Suara siapa yang kamu dengar?”

Ia tak menjawab. Ada yang mehalanginya. Ada sesuatu yang mencengkram dadanya hingga sempit, mengisinya dengan akar-akar berduri hingga menusuk setiap sisinya. Suaranya ikut tercekat karena hal itu. Ia tidak mengerti, tapi ia kesakitan.

Tubuhnya bagai terhempas seketika, begitu tiba-tiba hingga ia tidak menyadari bahwa ia hanya terjatuh. Ia menatap ke depan dan mendapati sosok itu lagi, masih dengan senyuman serta raut muka yang sama. Tidak ada yang berubah. Persis ketika sosok itu pergi dan menghilang, tidak kembali bahkan ketika ia berteriak kencang pada Tuhan.

“Apa itu suara yang familiar?”

Akar berduri menarik kedua pergelangan tangannya ke belakang. Tubuhnya terhentak sejenak, namun ia masih yakin ia tidak apa.

“Apa itu kejadian yang membuatmu bahagia?”

Semua memori hangat, semua tawa manis, semua teriakan yang tak pernah membuatnya muak—semuanya berputar kembali ke hadapan. Kini begitu dekat hingga rasanya akan menusuk mata. Warna suara itu kembali dan mengelilinginya, lalu aroma khas yang selalu menjadi bahan candaan membawa perasaan itu lagi.

“Apa kamu melakukan semua kegiatan karena kamu takut ada yang tidak ingin kamu melupakan kehidupan?”

Akar-akar itu melilitnya kembali, dengan putaran baru dan membawanya pada kegelapan. Di kakinya bagaikan ada air sedingin musim bersalju mengalir perlahan. Awalnya hanya sebatas mata kaki, namun perlahan semakin naik hingga ia dapat merasakan lehernya sesak dan perih. Samudera menenggelamkannya, memeluknya erat hingga tak ingin melepaskannya bagai ia adalah sosok yang berharga.

Bagai ia adalah sosok pangeran yang dicari-cari si putri duyung.

“Apa kamu menerima kepergiannya?”

Fenly terhempas kembali pada kenyataan. Dia menatap toko bunga sejenak dengan napas terengah sebelum mengambil langkah masuk dan menghampiri sang pemilik toko. Mereka saling bertukar senyum serta berbincang mengenai jenis-jenis bunga yang dapat dipelihara di dalam kamar.

“Kaktus banyak dipilih akhir-akhir ini. Apalagi succulents, mereka tidak begitu sulit untuk dipelihara dan sering menjadi tanaman anti-depressant.”

Mendengar itu, Fenly lantas bertanya. “Kenapa?”

“Karena mereka membuat kita merasa seperti, ‘Menjaga kelangsungan hidup sesuatu itu menenangkan’ sehingga orang-orang akan lebih menghargai hidup mereka dan diri mereka sendiri.”

Ia terdiam dibuatnya, tidak ingin mengganggu, sang pemilik toko pun menyingkir sedikit. Kini, Fenly dibuat berpikir.

Sosok di sisinya berjalan menjauh, perlahan menuju pintu toko yang berwarna putih itu. Dilewatinya dengan mudah tanpa menimbulkan suara, juga melangkah tanpa sedikit pun suara. Senyuman di sana masih terlukis dengan indah dan kini jauh lebih indah.

Dedaunan di sana tertiup dengan anggun oleh angin yang menenangkan. Aromanya manis serta menyenangkan seakan teringat pada kejadian paling membahagiakan di dunia. Apalagi suasana yang diberikan mulai berbeda dan begitu mendebarkan jiwa.

Hingga ketidaknyataan itu pun memudar lalu menghilang dengan percikan kelopak bunga yang lembut.

“Saya beli satu kalau begitu.”

“Mari ikuti saya. Anda bebas memilih sesuka hati ingin yang mana.”

Kaktus.

Warnanya hijau.

Seperti dino, kan Kak?

Kumpulan One-Shot ShanlyWhere stories live. Discover now