Hanya kebahagiaan yang terlihat di mata kecil seorang gadis mungil yang biasa dipanggil Mayra. Gadis berambut panjang, berwarna hitam legam lurus dan memiliki kulit putih, juga wajah yang tembem. Anak semata wayang ini adalah gadis yang sangat ceria, begitulah orang mengenalku. Aku belum faham dengan keadaan sekitar. Yang aku tahu hanyalah bahagia, tertawa dan bermain. Suatu hari aku kembali dari bermain dan biasanya aku lelah dan ketiduran. Tapi, hari itu aku kembali ke rumah tepat waktunya aku harus pergi mengaji. Mataku tidak sanggup lagi menahan kantuk dan tertidur lah aku di kasur. Seorang lelaki dengan suara yang bergema berteriak memanggil namaku.
“Mayra!!!?” teriak lelaki yang aku panggil Ayah . Aku terbangun dengan terkejut dan rasa ketakutan mendengar teriakan suara Ayahku dengan nada tinggi. Aku beranjak bangun dan mengumpat dibelakang pintu. Suara langkah yang tergesa-gesa mencari keberadaanku. Saat suara langkah itu terdengar tepat di samping ku berdiri. Tangannya terulur menarik kerah baju ku. Aku berdiri dan terlihat di wajah ku yang mungil nan imut ini rasa ketakutan karena melihat amarah yang terlihat di wajah ayahku itu.
“Dari mana kamu?!” bentak Ayah Mayra.
“Ma-May main, Ma-May ngantuk, Ayah,” lirih ku dengan suara kecil nan imut itu, aku memberanikan diri menjawab bentakan Ayah.
“Ngantuk?! Habis main tidur?!” tanya Ayah dengan nada marah.
“Iya, Yah...,” jawabku. Wajahku terus menunduk tanpa berani melirik wajah Ayah walau sesekali.
“Sekarang mandi!!! Berangkat mengaji!!” perintah Ayah pada Mayra. Ayah memang orang yang berwatak keras dan sering marah-marah. Walau begitu sebenarnya ia sangat menyayangiku sebagai anaknya. Aku berlari menuju kamar mandi dan tak lama kemudian aku ganti pakaian dan pergi ke masjid dekat rumahnya untuk mengaji. Aku termasuk gadis yang sangat pintar, aku selalu memenangkan setiap perlombaan. Sampai aku tidak pernah membeli buku karena, buku dari hadiah beberapa perlombaan dan juara kelas sudah lebih dari cukup untukku.
Hari ini adalah hari di mana aku akan mengikuti lomba melukis. Ditemani dengan Mama aku mengikuti lomba dengan bersemangat. Walau tidak tampak sosok yang aku cari sejak aku naik ke panggung.
“Mayra!!” teriak teman-teman ku memberikan semangat pada diriku. Senyuman Mama yang aku lihat sebelum memulai perlombaan. Aku melukis sebuah pemandangan.
“Cukup bagus untuk lukisan anak sekecil Mayra,” cetus Juri melihat lukisanku. Aku terlihat sangat serius melukis pemandangan dan sesekali aku menatap ke arah Mama berdiri. Dan sesekali mataku mencari sosok yang ku tunggu dan harapkan kehadirannya. Sampai pengumuman pemenang pun, sosok itu tak terlihat oleh mata ku.
“Mama, Ayah mana?” tanyaku dengan mencari sosok Ayah.
“Ayah lagi kerja, Sayang,” ujar Mama menenangkan ku.
“Juara melukis hari ini di menangkan oleh Mayra Wilson!!!” teriak juri mengumumkan pemenang lomba. Aku sangat senang dan melonjak-lonjak selayaknya anak kecil yang lain.
Saat diminta untuk naik ke panggung aku sangat malu bahkan sampai tak mau untuk naik ke atas panggung. Namun, aku berhasil dibujuk oleh Mama.
“Ayo, Mayra ambil pialanya!!! Nanti Mayra kasih ke Ayah,” bujuk Mama yang berhasil membawaku naik ke atas panggung.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju ke ruangan kerja Ayah, berharap ada sosok yang aku tunggu sejak lomba tadi. Tapi, sosok itu tidak ada di ruangannya.
“Mama, kita ke tempat kelja Ayah, yokk!!” rengek ku mengajak Mama pergi. Mamaku terlihat ragu untuk mengabulkan permintaanku hingga sesekali Mama membujuk diriku agar menunggu Ayah di rumah saja. Namun, aku tetap merengek sampai menangis. Dengan paksa, Mama membawaku ke tempat kerja Ayah walau, Mama tahu akibat nya.
Mama memintaku untuk menunggu di luar ruangan Ayah. Saat Mama memintaku masuk ke ruangan Ayah, sesuai dengan apa yang sudah Mama tebak apa respon Ayah ketika melihat Mama ada di tempat kerja.
“Ngapain kamu kesini?” tanya Ayah dengan ketus. Tak lama kemudian,
“Ayah!!!” teriak sapaku yang masuk ke dalam ruangan Ayah. Wajah ayah berubah menjadi memerah menahan marah.
“Kamu bawa anak kamu itu pulang!!” ucap Ayah pada Mama dengan nada menahan amarah yang memuncak. Ayah tidak suka jika sedang bekerja di ganggu oleh siapapun itu. Maka dari itu Mama selalu benar-benar mempertimbangkan permintaanku kalau aku ingin pergi ke tempat kerja Ayah.
“Ayah, lihat piala ini!! Mayra menang lomba melukis tadi,” ucapku menunjukkan pialanya pada Ayah tapi, Ayah tidak menoleh kearah ku sedikit pun. Mama mencegahku yang mencoba mendekat pada Ayah.
“Mayra mau sama Ayah dulu, Ma,” rengekku tidak mau ikut dengan Mama. Mama menggendongku dan membawaku keluar dari ruangan Ayah.
“Ayah marah sama Mayra ya, Ma? Ayah kok gak lihat Mayra tadi?” tanyaku dengan wajahl yang terlihat sangat sedih.
“Enggak, kok. Ayah kan sayang banget sama Mayra. Tadi itu Ayah lagi sibuk jadi, gak bisa diganggu,” jelas Mama padaku. Aku terdiam tanpa ada kata yang keluar lagi dari lisanku.
Sesampainya di rumah, aku berlari membuka pintu dan masuk kedalam.
“Ayah gak sayang lagi sama Mayra!!” teriakku dengan air mata yang terus mengalir dan menetes di tempat tidur.
“Sayang, Ayah lagi sibuk, nanti kalau Ayah gak sibuk lagi pasti Ayah main lagi sama Mayra,” rayu Mama padaku yang sedang ngambek.
Mama membiarkanku tertidur agar tidak terus merengek dan membicarakan tentang Ayah. Mama menangis di balik pintu kamar. Mama sangat sedih melihat diriku yang mendambakan sosok Ayah ada disaat lomba tadi. Tapi, Mama tahu segalanya tentang Ayah. Hanya Mama yang tahu dan paham.
“Cepat besar ya, Mayra. Nanti, Mama ceritakan hari ini dan yang telah lalu,” ujar Mama yang menangis melihatku tertidur. Tapi, sebenarnya aku masih bisa mendengar segalanya.
“Akan Mama jelaskan kenapa kamu harus menjadi orang sukses dan anak yang baik,” ujar Mama.
Tak lama kemudian, Ayah datang membuat Mama beranjak dari kamar Mayra untuk membukakan pintu.
“Lama banget, sih?!” bentak Ayah. Mama hanya terdiam tanpa menjawab.
“Kamu pulang terlambat lagi, Yah?” tanya Mama menyindir Ayah.
“Banyak tanya kamu!!!” bentak Ayah tak suka dengan pertanyaan Mama. Setiap aku terlihat tertidur pulas Mama menyembunyikan banyak kejadian sendiri tapi, sebenarnya aku mengetahui segalanya. Hanya saja diriku yang masih sangat belia tidak paham dengan apa yang aku lihat. Mama selalu terlihat baik-baik saja di depanku padahal, menyembunyikan banyak hal yang menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayra
Teen FictionAku Mayra, kehidupan kanak-kanak ku membuatku tenang untuk sejenak. Sebelum aku semakin beranjak berumur dan memahami segala makna hidup yang membuat suasana yang sebenarnya semakin jelas dimata. Semakin aku lari dari kenyataan, semakin aku paham ak...