03🌿

28 12 34
                                    

"Guys! Mari ngerujak." Shandy kembali ke kelas dengan membawa beberapa buah mangga yang belum sepenuhnya matang.

Riuh dikelasnya seketika lenyap. Tatapan perempuan langsung saja tertuju pada Shandy, bukan terpesona melihat Shandy, namun terpesona melihat apa yang dibawa Shandy.

Langsung saja, segerombolan siswi berlarian menuju arah Shandy. Membuat anak itu kewalahan dan berakhir duduk dilantai. Zweitson yang melihatnya hanya bisa bengong. Aneh sekali kelas ini, pikir nya bingung.

Fajri yang masih belum selesai mengisi aplikasi tik tok nya pun masih belum beranjak dari tempat, walau kegaduhan masih terdengar dibelakangnya.

"Eh, anak baru. Siapa namanya gue lupa," ujar Shandy berkata dengan melihat wajah Zweitson.

"Gue?" tunjuk Zweitson pada dirinya sendiri.

"Iya lo sini dah," ucap Shandy melambai-lambaikan tangannya.

Fajri yang selesai pun langsung saja menemui Shandy yang masih duduk dilantai, Shandy meminta Fajri untuk mengundang Fiki and kawan-kawan untuk datang ke kelasnya. Ia tahu, pasti seluruh kelas sedang tidak ada pelajaran.

"Lo tolong bisa beli gula ke kantin, gue yakin di kantin ada gula," pinta Shandy memberikan uang lembaran abu-abu kepada Zweitson.

Zweitson diam. Jadi ucapan Shandy tadi benar, kelas mereka mau pesta rujak-rujakan gitu? Yah dia baru melihat ada kelas yang seabstrak ini.

Tanpa menunggu lama lagi Zweitson pergi ke kantin untuk membeli gula sesuai permintaan dari Shandy. Tidak lama kemudian, pintu kelas mereka terbuka, menampilkan kedua sosok pemuda dari kelas IPS.

Fiki dan temannya Gilang.

"Dapat mangga dari mana?" tanya Fiki ikut duduk di lantai dengan Shandy, sedangkan Gilang menemui Fajri yang tengah mengupas mangga bersama para ciwi-ciwi.

"Mangga disekolahan kita banyak, kenapa enggak diambil 'kan sayang kalau dimakan kambing," ucap Shandy ngasal.

"Mana ada kambing makan mangga. Itu kelakar, kewelar, kelehawar, kel. Bst! Apaan sih anjir!" Fiki jadi misuh-misuh sendiri, tidak mulut tidak tangan selalu saja typo. Shandy terkekeh saja mendengar setiap perkataan Fiki.

"Tapi masa cuman mangga aja, buah yang lain enggak ada 'kan enggak lengkap gitu." mendengar ucapan Shandy, Fiki jadi teringat akan salad buah yang diberikan Septi pagi tadi yang belum sempat ia makan. Ada beberapa aneka buah-buahan didalamnya boleh lah Fiki berbagi dengan teman-temannya.

"Lang, kabar Abang lo gimana? Gue jadi kangen sama Kak Ricky. Kangen masakannya gitu." Fajri yang tengah memotong mangga sambil bertanya-tanya mengenai Kakaknya Gilang. Jangan tanya dari mana Fajri mendapatkan pisau itu karena saya juga enggak tahu. Dari pada pusing mikirin pisau yang tiba-tiba ada mending lanjut ke cerita oke.

"Baik. Kemarin baru aja pulang, kalau lo kangen ya main ke rumah gue lah," tutur Gilang diangguki cepat oleh Fajri.

Sejak kecil, Fajri sudah sering main ke rumah Gilang. Membuat kedekatan dengan Abangnya Gilang menjadi tidak lagi asing. Disaat usia yang masih terbilang muda, Kakaknya sudah dituntut untuk menjadi seorang pekerja. Kesibukannya setiap hari membuat Gilang bosan di rumah, Ricky pulang larut malam ketika dirinya sudah terlelap.

Shandy tengah menyusul Zweitson yang pergi ke kantin sudah seperti pergi dari Indonesia ke Korea. Butuh waktu beberapa menit padahal, entah apa yang orang itu lakukan sehingga membuatnya lama. Selain itu pun, Shandy ingin meminjam alat-alat lainnya kepada Ibu kantin yang baik hati nan cantik.

"Astaga!"

***
Zweitson hendak kembali ke kelas, pandangannya terpaku kepada perempuan yang tengah menyapu lantai depan kelasnya. Kelas 11 dan 12 memang dekat. Apalagi kelas Mipa.

Lita.

Zweitson kembali bertemu dengan perempuan itu, tanpa Lita sadari Zweitson yang sudah berdiri dibelakang dirinya yang hendak menyibak rambut Lita yang terjulur panjang. Membuat ia sudah untuk hanya sekedar menyapu, karena terhalang rambutnya.

"Ikat. Jangan dibiarin gini."

Lita tersentak, tersenyum kikuk ketika Zweitson memergokinya.

"E--eh, Kakak yang tadi ya, anu Kak." lidah Lita benar-benar tidak bisa mencerna omongan kalau udah berhadapan dengan Zweitson. Entah lah rasanya tuh, susah gitu buat ngomong. Takut salah.

Zweitson terkekeh melihat tingkah laku perempuan dihadapannya ini, lucu juga. Pikirnya gitu, Zweitson memang dikenal dengan orang ramah, baik juga penurut. Tidak heran jika banyak kaum hawa yang mengangumi sifatnya itu.

"Itu, beli gula buat apaan Kak?" tanya Lita sedikit ingin tahu.

Zweitson melirik pada tangannya. "Ohh ini, disuruh beli sama Shandy. Katanya mau ngerujak, kelas aneh emang."

Lita ngangguk-ngangguk aja tuh, dirasa omongan sudah terbatas. Lita izin pamit untuk kembali masuk ke kelasnya. Zweitson mempersilahkan, membiarkan Lita yang perlahan hilang diambang pintu.

Suasana riuh didalam kelas Shandy. Mereka tengah berpesta rujak kali ini, semua terhibur dengan omongan receh Fajri. Rasanya mereka ingin kembali ke kelas awal supaya lebih lama lagi mereka mengenang masa SMA. Rasanya baru kemarin MOS dan beberapa bulan lagi kelulusan.

Terlihat, Zweitson yang kini mulai akur dengan yang lain. Ia tengah mengobrol dengan Fiki dipojok kursi sebelah kanan, sambil mengunyah beberapa buah-buahan. Terlihat obrolan mereka begitu hangat.

"Jadi gimana Son?" tanya Fiki membuka mulut dan membiarkan buah-buahan masuk.

"Enggak tahu sih Fik, itu 'kan hak lo. Tapi menurut gue nih yah, mending lo jujur diawal dari pada akhirnya nanti enggak baik. Hati wanita itu cepat rapuh Fik, sekali tebas aja udah hancur."

Fiki nampak berpikir, rumit juga masalah tentang perasaan. Tapi ya, jalan orang-orang kan beda, jadi Fiki memang susah untuk mengikuti jalan orang lain. Ia ikut kata hati sendiri saja.

"Tau deh, pusing gue mikirin ginian. Lo sendiri belum pernah gitu kasih hati lo buat wanita?" tanya Fiki. Ya pembahasan mereka sejak tadi tentang perasaan.

"Mm. Enggak, tapi gue tahu cara hargain wanita," jawab Zweitson ikut mengambil potongan buah.

"Tap---"

"WOY FIKI! LO JANGAN BANYAK-BANYAK MAKAN BUAH MANGGA! NANTI GUE YANG DI OMEL KAKAK LO."

Fiki mendengkus kesal, sedangkan Zweitson yang tidak tahu apa-apa pun hanya diam. Mungkin Fiki masih tertutup, jadi belum menceritakan sepenuhnya tentang kehidupan pemuda itu. Zweitson masih memakluminya.

Tbc_

 TRAPESIUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang