[0.1] Hirap

2 0 0
                                    


"Aku tak bisa apa-apa, ketika ternyata yang menyukaimu bukan aku saja. Apalagi, jika di hatimu sudah tertulis satu nama."

Alana cantik.

👑👑👑

"Santai, Na, santai. Udah biasa sekolah di sini kok tetep deg-degan," ujarku mengatur napas dan perlahan berjalan memasuki gerbang utama. Di sana, aku bertemu beberapa anak osis, yang menurutku mukanya pas-pasan. Udah pas-pasan jutek pula, heran.

Perasaanku sedikit tidak karuan, galau, nyesek, sedih, semangat, bersatu padu dalam satu waktu. Apalagi setelah kejadian kemarin, rasanya hatiku remuk, hancur, patah, dan kehilangan arah. Ah, lebay parah.

Flashback

"Aku baru jadian sama Luthfy, ya gak, Fy?"

Bagai tersambar petir, aku memaksakan senyumku. Sebisa mungkin aku merubah mimik wajahku.

"Demi apa? Kok gak tahu kalian deket, sih?" tanyaku dengan wajah yang dipaksakan ceria. Ingat, dipaksakan. Lalu menoleh ke arah Ica.

"Iya, bener kata Lana. Kok, gak ngasih tahu?" sahut Ica.

Aku kembali meluruskan pandanganku, menatap dua sejoli yang katanya baru jadian itu. Aku tersenyum getir. Kenapa harus temanku? Apa tidak ada yang lain? Ah, kalo sudah sangkut pautnya sama teman, aku tidak bisa egois.

"Dari awal masuk sekolah, sebenernya kita udah deket, Na, Ca," jawab Luthfy.

Aku dan Ica hanya ber-oh ria saja.

Flashback off.

"Lana!" Teriak Ica membuatku menoleh ke belakang.

"Gogorowokan wae sia, mah," ujarku menonjok lengan kirinya.

"Udah gue bilang, Lana, gak usah pake bahasa sunda. Gue gak paham."

Aku terkekeh pelan. Di ujung sana, ada yang mengganggu penglihatanku. Aku menyipitkan mataku.

"Sial, isuk kènèh ieu tèh," gumamku pelan.

"Kenapa, lu?" tanya Ica.

"Ah, enggak."

Di ujung sana, aku melihat Kirana juga Luthfy yang tengah berbincang bersama. Bahkan kali ini lebih dekat dari waktu itu. Aku pura-pura tidak melihatnya. Karena, semakin aku lihat semakin menyakitkan.

Ketika aku dan Ica akan segera menghampiri kelas yang berada di ujung sana, aku menghela napasku kasar. Bukan karena aku malas masuk kelas, tapi kalian juga pasti paham.

Aku menghela napasku kembali, lalu merubah mimik wajahku. Aku tersenyum lebar dan menghampiri dua sejoli yang tengah kasmaran itu.

"Wih, yang lagi kasmaran mah beda ya, Ca. Pagi-pagi udah deket-deketan aja," sindirku, lalu ber-tos ria pada mereka berdua dan disusul oleh Ica.

"Bener, Na. Kita mah yang jomblo bisa apa, ya?" sahut Ica.

"Bisa modol, makan, minum, sahut Luthfy tiba-tiba.

"Terus yang pacaran gak modol, gitu?" timpal Kirana.

"Bisa, cuman keras, soalnya kebanyakan makan cinta. Kurang serat," ujarku dengan nada datar.

Mereka tertawa, sedangkan aku hanya terkekeh pelan. Ah, moodku sudah lumayan rusak.

"Dah ah, aing duluan, gays. Mun aya nanaon mah geroan wèh." Aku berjalan masuk menuju kelas dan duduk di bangku ku.

Aku membuka tasku, mengeluarkan airphone dan memasangkannya pada telingaku. Aku menelungkupkan tanganku di atas meja dan menyembunyikan wajahku di sana. Aku pun memejamkan mataku, menikmati iringan musik yang terlantun.

Aku hampir terlelap, namun merasakan tubuhku terguncang hebat. Aku cukup kaget, lalu menegakkan tubuhku dan mencopot airphoneku.

"Anjrit, aya naon sih? Aing kira gempa, jingan." Aku kesal, ternyata mejaku sengaja diguncang oleh seseorang. Ica. Ya, yang mengguncang mejaku adalah Ica.

"Gue mau cerita, udah gue panggil gak nyahut mulu. Makanya, gue guncang meja lu sekalian," ujar Ica dengan cengiran khasnya.

"Bentar." Aku menyimpan airphoneku, lalu mencari posisi yang nyaman. "Sok, buru nyarita."

Ica duduk di sebelahku, lalu dia mulai membenahkan posisinya menghadap ke arahku.

"Gue suka sama Luthfy, Na." Perkataannya membuatku sedikit tercengang. Ternyata, bukan aku saja yang mencintainya secara diam-diam. Ah, Tuhan.

"Udah dari sebelum Kirana kenal sama Luthfy dan sebelum lo kenal dia, gue udah suka."

"Kok bisa? Kalian kenal di mana?"

"Jadi, waktu daftar kita ketemu. Kenalan, terus deket, deh."

Aku menatap Ica lekat. Pantas saja waktu hari pertama MPLS sekolah, Ica datang bareng sama Luthfy. Ah, lagi-lagi sainganku adalah temanku sendiri. Rungkad.

"Oke, lanjut."

"Ya, dia itu baik banget sama gue. Sering nganter ke mana-mana, sering gue repotin, terus bahasanya lembut juga. Kalo gue marah, dia pasti bujuk gue. Terus--"

"Cukup." Aku menoleh ke arah pintu kelas, diikuti oleh Ica. Aku dan Ica pun langsung mengganti topik obrolan. Kirana menghampiri kita, sedangkan Luthfy menghampiri teman-temannya.

"Ghibah tèh gak ngajak kalian mah," ujar Kirana lalu duduk di bangkunya. Kebetulan, bangku Kirana berada di depan bangkuku.

"Nanti, pas istirahat kita ghibah bareng. Sekarang mah udah mau masuk," jawabku sekenanya.

👑👑👑

Note :

Sunda : "Gogorowokan wae sia, mah."
Indonesia : "Teriak-teriak mulu, lu."

Sunda : "Sial, isuk keneh ieu, tèh."
Indonesia : "Sial, masih pagi juga."

Sunda : "Bisa modol, makan, minum."
Indonesia : "Bisa buang air besar, makan, minum."

Sunda : "Dah ah, aing duluan, gays. Mun aya nanaon mah geroan wèh."
Indonesia : "Dah ah, aku duluan, gays. Kalo ada apa-apa panggil aja."

Sunda : "Anjrit, aya naon sih? Aing kira gempa, jingan."
Indonesia : "Anjrit, ada apa sih? Aku kira gempa, jingan."

Sunda : "Sok, buru nyarita."
Indonesia : "Silahkan, cepat cerita."

Belajar bahas sunda, sambil membaca cerita. Hehe.

Ada krisar? boleh di komentar, ya.

Hirap [ Aku, kamu dan semua anganku ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang