Prolog

9 0 0
                                    

Duniaku rasanya runtuh, ketika aku harus terpaksa berhenti kuliah. Pahit sekali membayangkan bahwa seluruh rencanaku, ambisiku, serta impian - impianku kacau. Dadaku terasa sesak. "Apa yang akan aku lakukan tanpa berkuliah?" Ucapku dalam tangis.

Pagi itu, tanggal 14 Maret 2020 Ibu menelfonku dan memberiku kabar bahwa ternyata beliau belum mendapatkan pinjamam uang untuk membayar biaya kuliahku sebesar enam juta rupiah.
    
Biaya kuliahku memang sangat mahal, karena waktu itu Ayahku masih menjadi kepala sekolah di salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota tempat tinggalku. Namun, sudah hampir 2 tahun kehidupan keluarku berubah total.
"Kak, Ibu belum dapat uang buat bayar kuliah. Gimana kalau mengajukan cuti?" Tanya ibu di seberang telefon.
"Tapi, Bu... Sebentar lagi aku lulus. Sia baru saja selesai PKL Bu, PKL di semester 5. Sayang sekali kalau harus cuti." Ucapku sedikit kesal.
"Terus mau bayar pakai apa? Ibu nggak punya uang sama sekali. Ayahmu juga baru saja kena musibah, seharusnya kamu mengerti." Kata Ibu. Aku terdiam, diikuti tangis sesenggukan. Aku merasa sangat egois jika aku memaksakan keinginanku untuk tetap berkuliah. Tapi sedih sekali jika akhirnya harus berhenti sementara. Akhirnya aku menutup telfon dari Ibu karena aku malu harus menangis dan tampak egois.
    
Ibu mengirimiku pesan pendek yang isinya nasihat bahwa terkadang kita harus siap menerima kemungkinan paling buruk yang mungkin terjadi di kehidupan kita. Aku tak membalasnya karena pikiranku kalang kabut.
    
Aku merebahkan diriku keatas kasur busa di kamar kosku yang sudah tipis, kemudian menutup wajahku dengan bantal dakron yang tidak kalah tipis. Aku menangis hingga tertidur. Aku benci hidupku.

Are We Gonna Make It? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang