💧AIR || BAB 6

19 7 11
                                    

6. DIA

***

Alpukat kocok serta buku bersampul hitam itu selalu saja menemani hari-hari Air yang sangat datar ini.

Membaca buku berjudul Angkana berulang kali sama sekali tidak membuat Air merasa bosan. Pria itu justru merasa kecanduan dengan kisah yang ada di dalam buku bersampul hitam itu.

Hari yang cerah ini, Air hanya menggunakannya untuk duduk terdiam di dalam kamar. Tidak seperti teman-temannya yang lain mengisi hari libur seperti ini dengan liburan.

Suara notif pada ponselnya mengalihkan atensi Air ke arah ponsel. Meraih ponsel itu dan membuka aplikasi bewarna hijau.

Setelah melihat notif tersebut raut wajah Air mendadak berubah seketika. Memandang room chat itu dengan datar.

"Sayang, Mama boleh masuk?"

Air mendongak, terdiam sejenak. Menatap pintu kamarnya itu dengan tatapan dalam.

"Masuk aja, Ma. Nggak dikunci, kok." Membenarkan posisinya, Air menyenderkan punggungnya ke arah bahu ranjang.

Pintu terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya yang sedang tersenyum tipis ke arah Air, senyuman yang paling indah dan candu menurut laki-laki itu.

"Kita keluar, yuk! Refresing, biar gak suntuk di kamar terus," ajak Fina kepada putra sulungnya.

"Air di sini aja, Ma, mau kerjain tugas yang belum selesai," tolak Air dengan halus. Membuat Fina sang mama cemberut. "Kamu tuh jarang banget loh luangin waktu buat kita."

Melihat sang Mama sedih, membuat Air tidak tega. Menunduk sejenak, lalu ia menghela napas dalam. Fina dan adiknya adalah dua perempuan yang bisa membuat Air menurut seketika.

"Mau jalan-jalan ke mana?" Mendongak, menatap manik mata sang mama yang terlihat teduh itu dengan dalam.

Mendengar pertanyaan tersebut, sontak saja membuat mata Fina memancarkan kebahagiaan seketika.

💧💧💧


Fina Maharani adalah ibu kandung dari Air. Memiliki adik cerewet seperti Novela membuat Air terkadang dibuat kewalahan.

"Kak, kenapa kakak namanya Air? Kenapa nggak Banyu aja? Kan, lebih bagus."

Pertanyaan itu selalu dilontarkan oleh Novela. Tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut, Air mengalihkan topik pembicaraan menjadi hal-hal berbau novel.

"Novel Angkana bagus loh. Kamu nggak mau baca?" tanya Air sembari tiduran di atas rumput. Memandang pemandangan indah di atas langit sana.

Melakukan piknik di taman belakang nyatanya tidak seburuk yang Air duga.

Perempuan berumur empat belas tahun tersebut menggeleng pelan. "Nggak mau. Kakak kan tau sendiri kalau aku nggak suka baca," ungkap Novela.

"Tapi, nama kamu ada unsur novelnya. Masa gak suka baca?"

Mencebikkan bibirnya, Novela pun membalas, "Ya, bukan berarti aku suka novel, kak! Ih, sebel!"

Terkekeh pelan, Air menggeleng, tidak habis pikir, adiknya ini menurutnya sangat aneh.

Suasana taman belakang ternyata sangat asik, terlebih lagi suasana yang begitu asrih dengan rumput hijau yang turut menghiasi dan tidak lupa tanaman hias membuat taman belakang yang terlihat kecil ini menjadi sangat cantik.

"Kalian lagi ngobrolin apa, nih? Mama ikut nimbrung boleh?"

💧💧💧


Ama terdiam merenung sendiri di halte yang tak jauh dari rumahnya. Sesekali ia memasukkan pisang coklat ke dalam mulutnya itu.

Tatapan Ama kosong, terlihat sangat jelas jika perempuan itu sedang memikirkan sesuatu.

"Kapan lo peka, sih? Heran." Ama berdecak kesal. Kini tatapannya sudah beralih ke arah ponsel miliknya yang sedang menampilkan gambar laki-laki dengan seragam anak SMA Abadi.

"Siapa tuh, Jangan-jangan cowok orang lagi."

Mendengar suara itu, membuat Ama dengan reflek berdecak. Mengapa di bumi yang luas ini, Ama harus dipertemukan dengan salah satu musuh terbesarnya.

Tatapan tidak bersahabat dilontarkan dengan jelas oleh Ama kepada Arum. Dia sangat muak dengan perempuan yang selalu membuat emosi Ama naik.

Terkadang Ama heran, mengapa perempuan itu selalu menyalakan api di tengah-tengah mereka. Padahal, Ama tidak pernah memulai itu semua.

"Kenapa harus lo yang dateng?" tanya Ama sedikit nyolot.

Mengangkat bahunya, Arum berujar santai. "Takdir mungkin?"

"Kayaknya bukan takdir, tapi lo yang selalu buntutin gue," kata Ama dengan percaya diri.

"Kepedean lo jadi manusia," balas Arum. Duduk tanpa permisi di sebelah Ama, membuat perempuan itu kesal.

Dengan tidak sopannya, Ama mendorong tubuh Arum sehingga perempuan itu sedikit terhuyung ke samping.

"Ngapain lo dorong gue anjir!" seru Arum. Perempuan itu kaget dengan serangan tiba-tiba yang diberi oleh Ama.

"Minggir lo. Ngerusak suasana gue aja." Ama sudah memasang wajah kesal, bahkan perempuan itu sampai tidak sadar jika pisang coklatnya sudah terjatuh ke tanah.

Tidak perduli dengan seruan Ama, Arum malah bersenandung seraya memasang earphone di kedua telinganya.

Melihat aksi Arum yang sangat santai seperti itu, membuat Ama mendengus.

Terkadang Ama berpikir, sebenarnya dia dan Arum itu musuh atau bukan. Terkadang terlihat seperti musuh, namun akan tetapi justru terlihat seperti teman.

💧💧💧

Air melangkah keluar dari supermarket, menenteng plastik kresek berwarna putih yang bertulis Alfamart.

Laki-laki itu ijin ke luar sebentar untuk membeli beberapa snack guna menemani piknik kecil-kecilan yang diadakan oleh sang mama dan Novela.

Tadinya laki-laki itu tidak ingin membeli sesuatu mengingat sang mama sudah menyiapkan beberapa cemilan khas rumahan, namun adiknya terus saja merengek dan meminta membelikan roti sari gandum rasa coklat kepadanya.

Menghela napas dalam-dalam, Air berjalan ke arah sepedanya yang terparkir tak jauh dari dirinya.

Namun, pandangannya tanpa sengaja menangkap sepasang sejoli yang sedang berdiri di samping motor.

Terlihat dengan jelas tawa bahagia di antara mereka. Genggaman pada kantong plastik yang ada di tangannya mengerat. Tatapan tenang milik Air hilang entah ke mana dan digantikan dengan tatapan tajam yang menyiratkan luka dalam.

Dia.

Kenapa Air harus melihat wajah itu kembali?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang