“Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha bil Mahri madzkur hallan”, Jawabku tanpa semangat.
“Sah”, Seru Pak Kiai Ghufron.
“Sah”, sahut para jamaah yang hadir dalam pernikahan itu.
“Barakallahu laka wa baraakaa alaika wa jamaa bainakuma fii khoir”, doa Pak Kiai Ghufron yang segera diamini oleh seluruh jamaah.
Aku menghela nafas berat. Akhirnya aku terjebak pada perjodohan sialan ini. Walau aku tak begitu mendalami masalah agama. Tapi ucapan qobiltuku tadi seakan mengubah alur hidupku. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana masa depanku kelak, hidup bersama gadis buta itu. Ah...
Bodo amatlah. Perjanjianku dengan Ayah hanyalah menikahinya, bukan hidup bersamanya.Aku mendengus saat pembawa acara mengatakan bahwa acara selanjutnya adalah penyerahan mahar. Aku harus memberikan mahar pada gadis buta yang sekarang ada di depanku. Aku melirik kesal ke arah Bunda, namun bukan dukungan yang kudapat. Bunda justru melotot tajam ke arahku, seolah mengingatkan aku untuk bisa menjaga sikap.
Aku mengambil segelas air putih yang telah disediakan di sampingku. Lalu kuulurkan segelas air putih itu pada gadis di depanku. Gadis itu tak kunjung menerima gelas air putih yang kuulurkan, dan aku sengaja tidak menyentuh tangannya. Sejenak aku tersenyum melihat gadis itu tidak bisa melihat gelas yang kuulurkan. Hmmm, dasar buta. Jelas –jelas gelas sudah ada di depan mata tapi untuk minum saja masih harus meminta bantuan.
Bunda mendekatiku dan menarik lenganku hingga menyentuh tangan Syaza, si gadis buta itu. Aku tersentak. Tapi Bunda malah menambah kekuatan pelototan matanya kepadaku.
Syaza mengambil gelas dari tanganku, tersenyum dan mengucapkan terimakasih dengan wajah yang manis. Sebentar, maksudku dengan wajah yang dimanis-maniskan. Bagiku dia tidak ada manisnya sama sekali. Lalu setelah mengucap basmallah, dia meneguk air putih dalam gelas itu sampai habis.Yap, itu adalah maharku untuknya, segelas air putih. Aku juga tak mengerti kenapa dia hanya meminta mahar segelas air putih saja dariku. Apa itu hanya akal – akalannya saja agar dikira perempuan sholekhah. Ah, hari gini mana ada perempuan sholekhah. Walau dia anak kiai sekalipun. Aku punya temen kuliah yang anak kiai, kalau ada orang tuanya dia akan berperilaku alim, pakai jilbab. Giliran tinggal di kos, kelakuannya sama saja dengan yang lain. Pakai tanktop dan hotpan kemana-mana, pulang larut malam dari klub atau karaoke. Huhhhftt, jadi menurutku wanita sholekha itu sudah tidak ada. Yang ada sekarang ini hanyalah wanita munafik, bermuka dua, dirumah sok lugu, cupu. Eh, diuar rumah kayak gitu. Ya kayak gitu deh.
Kembali lagi ke mahar yang dia minta padaku, segelas air putih. Apa maknanya. Kalau itu bukan siasatnya agar dikira perempuan sholekhah. Maka itu adalah cara dia mengejekku dan keluargaku. Secara keluargaku cukup terpandang di kota ini. Keluargaku bahkan menjadi donatur tetap Pondok Pesantren yang dikelola keluarganya. Dia bisa meminta mahar apapun. Tapi alih-alih meminta mahar mahal, dia hanya meminta air putih. Apa itu bukan bermaksud untuk merendahkanku, seakan aku tak mampu memberinya lebih.
Aku masih saja bergelut dengan pikiranku tentang motivasi permintaan maharnya, saat Bunda mencubit lenganku.
“Hei...melamun saja, acara belum selesai ”, bisik Bunda sengit.
Aku mencembik ke arah Bunda. Ku tatap lurus kedepan. Kulihat Syaza sedang meraba meraba ke arahku, Aku tergelak. Bunda mengulurkan tanganku padanya. Lalu serta merta dia mencium punggung tanganku dengan hidmat. Sejenak aku tertegun. Seumur hidupku baru kali ini ada yang mencium punggung tanganku dengan begitu dalam seperti ini. Seolah tanganku adalah simbol yang harus dia hormati. Lama aku menatapnya yang masih salim padaku. Hingga Bunda kembali mencubit lenganku.
“Cium dia Dodol. Cium keningnya”, Bisik Bunda sambil meremas ujung bajuku.
Tentu saja aku berjengit. Enak saja, nyium gadis buta. Mending aku mencium batang pohon pisang dari pada bibirku harus menyentuh kulitnya. Bunda apa – apain si. Ga ada perjanjian seperti itu pula sama Ayah. Buru-buru ku kibaskan lenganku yang sedang dia cium. Kulihat Syaza tersentak kaget, lalu melepaskan tanganku. Ih, harus kucuci berapa kali nanti punggung tanganku. Najis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Still With You
Teen FictionMenceritakan kisah Sagara Biru, cowok pembangkang, si berandal kampus yang terpaksa menikahi Alexandra Syaza Nabila, gadis berhijab yang akrab dipanggil dengan sebutan Ning Syaza, putri dari seorang Kiai sebuah pesantren. Tentu saja Saga -panggila...