Ha Nee menunduk dalam, menghindari tatapan para pejalan kaki yang melewatinya. Ha Nee bisa menebak apa yang saling mereka bisikan satu sama lain. Ia pasrah saja. Toh dirinya tidak bisa mengendalikan pikiran orang lain agar tidak memperhatikannya. Mereka tidak sepenuhnya salah. Karena memang penampilan Ha Nee menarik perhatian. Gaun pernikahan melekat di tubuhnya. Rambut yang tidak lagi tertata rapi. Serta riasan yang pasti sudah berantakan. Gadis itu menghela napas menyadari betapa menyedihkan dirinya. Hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya.
"Permisi..." Ha Nee menoleh ke samping kanan. Seorang perempuan yang tampak sebaya dengannya menyodorkan sebotol air minum. "ini untukmu. Masih baru. Aku belum membuka kemasannya." Lanjut perempuan itu.
"Terima kasih. Tapi tidak perlu." Ha Nee mengisyaratkan penolakan dengan tangannya.
"Gwaenchana. Agar kau sedikit tenang."
"Ne?" Apakah terlihat jelas dari air muka Ha Nee? Atau mungkin perempuan ini peramal? Tapi memang benar jika Ha Nee sedang gelisah.
"Maaf aku tidak bermaksud ikut campur. Tapi sepertinya tanganmu bergetar tadi." Ha Nee meremas kuat ponselnya dengan kedua tangan meyamarkan kegugupannya. Ya, ia hanya membawa ponsel saat pergi. Sedangkan barang lainnya tidak terpikirkan olehnya. Pasti masih di ruang tunggu aula. "Sebaiknya minumlah dulu." Imbuh perempuan itu.
Ha Nee melipat mulutnya ke dalam. Ia menatap lekat minuman itu. Tidak baik jika menolak kebaikan orang lain. Ha Nee menerima minuman itu dengan kedua tangannya. "T-terima kasih," ucapnya canggung. Dibuka tutup botol bening itu. Bibir Ha Nee tidak lagi kering setelah menyesapnya sedikit.
Bus yang ditunggu sudah datang. "Saya pemisi. Sekali lagi terima kasih untuk minumannya." Ia berpamitan sebagai bentuk kesopanan atas kebaikan perempuan asing itu. Perempuan itu bersikap baik padanya meskipun mereka tidak saling mengenal.
Ha Nee cukup kualahan dengan pakaiannya. Sehingga harus mengangkat roknya agak tinggi. Para penumpang bus langsung menatapnya ketika memasuki kendaraan besi itu. Seorang perempuan mengenakan pakaian pengantin dan berkeliaran di jalan. Mereka pasti berprasangka. Ada dua prasangka umum untuk situasinya. Ia dicampakkan oleh mempelai pria. Atau dirinya yang mencampakkan calon suaminya.
Tangannya bergetar gugup saat memindai ponsel untuk membayar ongkos bus. Hampir saja ia menjatuhkan ponselnya. Ha Nee berjalan cepat ke kursi paling belakang, tempat paling nyaman untuk menghindari tatapan orang lain.
Gadis itu menatap keluar jendela dengan mata sayu. Ia tidak memiliki tujuan untuk pergi. Ha Nee hanya berusaha menjauh dari hal yang tidak ingin ia lakukan. Ya, ia meninggalkan acara pernikahan dan calon suaminya. Ha Nee merasa buruk dan kejam membayangkan kegaduhan yang sekarang pasti terjadi karena dirinya.
Song Ha Nee terkejut oleh getaran ponsel di genggamannya. Tepat seperti yang ada dalam benaknya, Jo Jin Hwan―sang mempelai pria menelepon. Ha Nee membalik layar ponsel di pangkuannya. Ia tidak memiliki keberanian menolak ataupun menjawab panggilan itu. Tidak tahu bagaimana cara menghadapi Jin Hwan. Jangankan untuk menghadapi lelaki itu, ia pun bersusah payah menenangkan diri. Ia menggigit bibir bawahnya. Rasanya ingin menghilang dan berharap bumi menelannya sekarang juga. Kejadiannya begitu cepat bahkan beberapa hal tidak bisa ia ingat dengan baik.
Lima panggilan tak terjawab muncul di layar ponselnya. Ha Nee menarik napas dalam lalu menghembuskan melalui mulutnya. Mencoba cara paling sederhana untuk menenangkan diri. Ha Nee mengulanginya hingga sedikit tenang. Hanya sedikit. Karena mustahil bersikap tenang setelah perbuatan yang ia lakukan.
Akan tetapi, Song Ha Nee harus tetap menghadapi kenyataan. Ia bisa lari tapi tak bisa sembunyi. Setidaknya ia harus menjawab telepon dari Jin Hwan sekali. Gadis itu meneguk air minum yang masih ia bawa untuk membasahi tenggorokannya. Ia meminumnya hingga air putih itu tersisa sedikit di dasar botol. Pada panggilan yang keenam, Ha Nee memberanikan menekan tombol hijau.
"Y-yebeoseo?" Ha Nee gugup karena keheningan di seberang sana. Ia menjauhkan ponsel dari telinga untuk memeriksa tampilan layar. Masih tersambung. Terdengar suara yang pelan. Kembali ia tempelkan benda persegi itu di dekat telinga, mendengarkannya lebih jelas. Jantung Ha Nee berdesir mendengar suarar Jin Hwan.
["Kau dimana?"] Tanya Jin Hwan datar. Namun suara baritonnya terdengar jelas. Ia sedang menahan amarah.
Ha Nee menghela napas. "Aku tidak bisa mengatakannya."
["Apa yang sedang kau coba lakukan?"] Walau hanya melalui sambungan telepon, Ha Nee cukup takut. Apalagi ia sedang ingin sendirian. Ha Nee tidak ingin menjelaskan apapun pada siapapun.
"Aku tidak bisa melakukannya." Ujarnya singkat tanpa memperjelas alasannya pergi.
["Apa?"] Ha Nee bisa membayangkan wajah terkejut Jin Hwan. ["Sejak kapan kau memiliki rencana mengacaukan acara pernikahan ini?"]
Ha Nee memejamkan matanya. Entahlah. Dari mana asal mula semua ini hingga menjadi benang kusut yang membelenggunya. Kabur dari upacara pernikahan adalah satu-satunya cara ia membebaskan diri dari belenggu benang kusut itu. Bukan menguraikan benangnya tetapi langsung memotongnya. Ha Nee menghela napas. Dengan tatapan kosong ia berkata, "Jangan memaafkanku."
Gadis itu mengakhir panggilan secara sepihak. Menonaktifkan ponsel adalah hal paling tepat―menurutnya―yang bisa Ha Nee lakukan setelahnya. Selain Jin Hwan, pasti orang tua dan para saudara pasti akan menghubunginya. Dan mereka akan mengatakan hal klise seperti menanyakan keberadaannya atau menyuruhnya kembali ke aula untuk melanjutkan upacara pernikahan. Sungguh itu bukan hal yang ia inginkan... sejak awal.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Intoxicated
RomanceHa Nee kabur tepat di hari pernikahannya. Ia meninggalkan calon suaminya begitu saja tanpa penjelasan. Sementara Jin Hwan masih berharap calon istrinya akan kembali.