Aku duduk sendirian di kafe bernuansa cokelat ini. Aroma kopi jelas tercium begitu aku memasuki ruangan. Kafe ini memang khas dengan warna dan aroma kopinya.Sesekali aku menyeruput ice cappuccino yang selalu menjadi favorite-ku jika mampir di Biand Kafe.
Aku sedang menunggu Ragnala---sahabat terbaik yang aku miliki. Sosok yang selalu ada untukku. Aku dan Ragnala berteman sejak umur delapan tahun. Saat itu aku pindah ke rumah Nenek dan menjadi tetangga Ragnala.
Sejak saat itu kami bersahabat baik. Kami selalu melakukan segalanya berdua. Kami selalu memilih sekolah yang sama, begitu juga dengan kampus dan jurusannya. Bahkan Ragnala selalu jadi pelindungku, jika ada yang ingin menyakitiku.
Pintu kafe terbuka, menampakkan sosok Ragnala yang sedang mencari keberadaanku di sana. Tadi, sebelum pulang bekerja aku mendapat pesan darinya, kalau dia sedang stress dengan masalah yang ia hadapi. Aku melambaikan tangan, memasang senyum cantik yang selalu aku tunjukkan padanya.
"Sorry lama, ada masalah di kerjaan," katanya. Dapat dilihat dari raut wajahnya yang ditekuk seribu itu.
"Nggak masalah," aku mengangkat tangan untuk memanggil waiters. "Lo uda makan? Gue belum, makan dulu, yuk. Gue lapar," ajakku.
Ragnala mengangguk, mengiyakan. Laki-laki ini memang selalu menuruti kemauanku.
Aku terkejut begitu melihat menu makanan yang sudah bertambah banyak, karena tadi saat memesan ice cappuccino aku tidak melihat menu sama sekali. Aku hanya menyebutkan pesananku pada Mas Biru yang kukenal sebagai salah satu pemilik Biand Kafe.
Padahal dulu-nya, saat pertama kali aku dan Ragnala ke sini, hanya terdapat menu minuman, dan beberapa snack saja. Kafe ini cepat juga berkembangnya.
"Lo mau apa, Rag? Ada nasi goreng sosis kesukaan lo nih," kataku antusias.
"Pesan apa aja, deh. Lo tau apa yang cocok sama gue," jawabnya. Tangannya sibuk memainkan ponsel, entah hal apa yang menarik di sana.
Aku menyebutkan pesanan kami pada waiters dengan sepelan mungkin, agar Ragnala tidak langsung berkomentar begitu mendengarnya.
"Saya ulangin pesanannya, ya, Mbak. Satu nasi goreng sosis, satu mie goreng sosis, satu jus semangka, dan satu jus jeruk. Pesanan sudah benar, Mbak?"
Aku mengangguk, memberikan buku menu pada waiters itu dengan buru-buru, seakan menyuruhnya agar cepat berlalu dari hadapan kami.
Kulihat wajah Ragnala yang menatapku datar. "Kenapa ngeliatin gue begitu? Suka lo sama gue?"
"Kenapa pesannya mie goreng? Lo habis minum kopi, nih, bukannya pesan nasi."
Sudah kutebak, Ragnala pasti mengomel mendengar pesananku barusan, makanya aku menyebutkan pesanan sepelan mungkin tadi, untung Mbak Waiter dengar.
Dia memang selalu melarangku makan mie dan minum kopi berlebihan, katanya aku harus menjaga kesehatan, padahal aku sehat selalu. Ragnala-nya saja yang lebay. Bisa dipastikan setelah ini dia komplain masalah minuman yang aku pesan untuknya.
"Itu juga, jus semangka dan jus jeruk untuk siapa?"
Nah kan, dugaanku benar.
"Untuk kita dong."
"Gue kan udah bilang, kalau makan, gue cuma butuh air putih, Mar."
Aku merotasikan mataku. "Lo butuh stamina, Rag. Gue baca di google jus semangka bisa membantu. Lo kan yang bilang tadi, gue tau apa yang cocok sama lo? Dan jus semangka itu cocok. Nggak usah banyak komentar, deh!"
Aku langsung memasang wajah pura-pura kesalku. Ragnala selalu bertingkah seperti ini kalau aku memesankannya minuman seperti jus atau pun kopi, yang dia mau hanya air putih saja. Aku sampai heran sendiri melihatnya.
Getaran ponsel di atas meja mengalihkan fokusku. Terlihat beberapa pesan masuk di sana secara bersamaan. Aku membalas pesan tersebut satu persatu, dari urutan paling terbawah. Sudah seperti admin olshop saja.
"Sampai kapan lo begini?" tanya Ragnala tiba-tiba, menatapku tajam.
Ada apa lagi dengan sahabatku ini?
"Begini gimana?" tanyaku balik seraya meletakkan ponsel kembali.
"Selalu merespon semua laki-laki, menerima ajakan mereka, tapi menolak kalau ada yang mengajak menjalin hubungan. Sampai kapan?"
Oh Tuhan, hal ini lagi. Hal ini sering menjadi topik pembicaraan kami saat sedang berdua seperti ini. Sejujurnya aku bosan dengan topik ini, tapi sepertinya Ragnala tidak.
"Gue nggak butuh yang lain, Rag. Gue cuma butuh lo, Neel, dan uang."
Terlihat Ragnala menghela napasnya. "Tap---"
"Nggak usah tapi-tapian. Gue bosan bahas ini melulu, lo nggak ada niatan ganti topik gitu? Tentang lo misalnya. Kenapa lo belum punya pacar juga sampai sekarang?"
"Gue nggak tertarik dan nggak punya waktu. Gue terlalu sibuk mengurusi masalah keluarga dan ngejaga lo di sini," jawab Ragnala tanpa melihatku.
Aku mendekatkan diri ke meja. "Andai ada perempuan yang bakal buat lo tertarik gimana?"
Ragnala mengindikan bahunya. "Mungkin gue berpikir buat pacaran, kalau ada waktu."
Aku mengangguk-anggukan kepalaku. "Melihat lo yang susah tertarik dengan perempuan gini, takutnya ada perempuan yang menarik perhatian lo dengan kebohongan. Kalau itu terjadi gimana?"
Ragnala menatapku, tapi tidak menjawab pertanyaanku. Dia juga punya kelemahan. Dia paling tidak suka dengan kebohongan, dan aku juga tidak suka jika terus-terusan ditanya sampai kapan seperti ini. Aku sudah menentukan jalan hidup yang ingin kujalani, dan ini dia.
Halo, ketemu lagi dengan aku
Kali ini aku bawa cerita baru setelah cerita Violet aku pindahkan lapak xixiIni color series kedua.
Color series pertama cerita dari Violet 🌼Btw cerita ini collab dengan @refimariskaa_
Salam cantik
Jodohnya Eun Woo
KAMU SEDANG MEMBACA
PERVICACIOUS
ChickLit- Color series 02 - Maroon selalu membiarkan laki-laki untuk mendekatinya, tetapi menolak jika diajak menjalin hubungan. Ragnala, sahabat baiknya, menjelma sebagai pelindung sebab tidak mau reputasi Maroon rusak meski gadis itu sendiri tutup telinga...