Sepulang dari rumah sakit, pagi harinya aku memutuskan untuk pulang ke rumah orang tua dengan menggunakan transportasi umum. Meski masih sakit badan dan hati tapi aku nekat. Kupikir di kota ini tak ada lagi yang kuharapkan, lebih baik pulang ke kampung halaman.
Sebenarnya, Mas Yuga tadi memaksa ingin mengantar karena melihat kondisiku yang tak memungkinkan. Namun, aku bersikeras untuk pergi sendiri demi menjaga diri dari fitnah dan khawatir terlalu banyak merepotkannya.
Akhirnya, setelah melalui kurang lebih empat jam perjalanan menuju kota tahu dari Bandung, aku tiba di rumah orang tuaku. Seperti yang kuduga, Mamah yang membuka pintu langsung kaget bukan kepalang.
"Lan, kamu pulang? Syukurlah, sini masuk Lan! Loh, tapi kok sendirian?"
Mamah menatap penuh kebingungan ketika aku melangkah masuk. Mungkin dia tak melihat mobil Lando yang mengantarku.
Aku tak langsung menjawab, ragaku yang ringkih kududukan terlebih dahulu di kursi tamu.
Entah mengapa aku merasa sangat lelah. Lelah lahir dan batin.
"Lan, kamu kenapa? Kamu sakit? Gimana kabar si utun?" tanya Mamah cemas seraya memegang perutku yang kembali rata.
Aku mendongak menatap Mamah sambil membebaskan air mata yang sejak tadi mendesak ingin keluar.
"Mah, aku ... aku keguguran."
"Apa? Kamu serius?"
Netraku menangkap mata Mamah yang seketika membulat sempurna. Sepertinya dia masih tak percaya apa yang didengarnya.
"Kamu keguguran, Lan? Kenapa bisa?"
"Lana gak tahu Mah, Lana hanya merasa perut Lana sakit. Lana bodoh Mah harusnya langsung ke dokter harunya Lana ... harusnya ...."
Aku berhenti menjelaskan karena lidahku terasa berat. Semua ini sangat memilukan untuk diingat. Rasa penyesalan yang bercokol di dalam dada ambrol begitu saja. Aku seperti membunuh darah dagingku sendiri karena kebodohanku.
Mamah tak banyak bicara lagi, dia lalu menarik tubuhku untuk dipeluknya.
Aku tahu dia pun sedih dan terluka atas kabar yang kubawa. Cucu ini sudah lama ia dambakan sekarang aku malah pulang dengan kabar duka.
"Ya Allah Sayang, sabar ya? Gak apa-apa ini sudah takdirnya tenang saja jangan menyalahkan diri. Terus ke mana Lando, Nak? Kenapa dia tak mengantarmu?"
"Mas Lando menceraikanku Mah. Dia selingkuh," jelasku membuat Mamah seketika melepaskan pelukannya.
Dia tampak syok.
"Apa? Dia selingkuh? Kamu jangan bercanda Lana! Dia itu lelaki alim yang soleh. Gak mungkin dia berani, bukan?"
Mamah menutup mulutnya yang menganga. Air mukanya yang semula sedih kini berubah kecewa.
Patut diakui, selama ini Mas Lando adalah menantu yang paling dikagumi oleh Mamah dan Bapakku dan siapa pun tahu aku juga dulu sangat mencintainya hingga hampir memuja.
Hanya sekarang aku sadar, 'BUCIN' dan 'TERLALU BODOH' itu beda tipis.
"Iya, Mah betul Mas Lando menyelingkuhi Lana. Dia nikah siri sama mantan pacar SMA-nya tanpa ijin Lana."
"Kurang ajar! Bisa-bisanya Lando selingkuh saat kamu keguguran. Seenaknya, dia nyakitin anak Mamah. Mamah akan bikin perhitungan sama anak itu!" umpat Mamah seolah tak bisa menahan lagi amarahnya.
Wanita yang selalu membelaku itu sontak berdiri dengan emosi. Terlihat dari sorot matanya kalau Mamah lebih terluka.
Tentu saja ibu mana yang tega melihat anaknya hancur oleh seorang lelaki yang sudah dia percaya?
"Sudah Lan sekarang kamu jangan khawatir. Lebih baik kamu istirahat dulu, setelah tenang baru kita ambil langkah yang terbaik," kata Mamah seraya menuntunku untuk beranjak dari kursi. Akan tetapi, gerakan kami tiba-tiba terhambat ketika rumah Mamah ada yang mengetuk.
Tok. Tok. Tok.
Mamah dan aku terpaksa berhenti dan menoleh ke arah pintu utama yang lupa Mamah tutup.
"Mas Lando?"
Reflek aku memekik kaget melihat siapa sosok yang tengah berdiri di ambang pintu rumahku. Rasanya tak percaya lelaki yang telah menyakitiku itu berani-beraninya datang menyusul.
Jangan-jangan sejak tadi dia memang sudah membututiku? Mengingat jarak kedatangan kami yang dekat.
Mamah yang tersadarkan lebih dulu spontan saja melepaskan tanganku dan melangkah marah menuju ke pintu.
"Kamu menantu kurang ajar! Ngapain kamu di sini, hah?"
Telunjuk Mamah teracung tepat ke hidung Mas Lando yang menatap kami dengan ekspresi yang ... ah, entah.
"Maaf Mah, saya ke sini buat menjemput Lana," ujar Mas Lando dengan nada parau.
"Kamu mau menjemput anak saya? Tidak! Saya tidak akan menyerahkan anak saya! Kamu sudah menyakitinya. Kamu tahu, saya menyerahkan Lana sama kamu karena saya percaya kamu akan membahagiakannya tapi ternyata ini yang kami dapat. Sekarang, saya tanya apa kurang Lana hingga kamu berani bermain api di belakangnya? Jawab!" sentak Mamah marah.
Saking murkanya, Mamah sama sekali tak perduli jika harus bertengkar di depan pintu dan membiarkan tetangga-tetangga mulai berkerumun.
Bagus! Kini kisah rumah tanggaku yang tragis akan menjadi konsumsi umum tapi aku gak masalah.
Biar mereka tahu, kalau di sini ada lelaki yang hatinya terbuat dari besi.
"Lana tak kurang Mah, sayalah yang salah. Saya ke sini karena ingin rujuk, saya sadar kalau saya membutuhkan Lana. Maaf, Mah tadi saya mentalak Lana karena emosi. Mohon beri saya satu kesempatan lagi ...." pinta Mas Lando.
Lelaki itu menangkupkan kedua tangannya di depan Mamah tapi Mamah bergeming.
"Kalau kamu membutuhkan Lana, kenapa kamu menyakitinya? Kenapa kamu menikahi wanita itu?"
"Karena ...." Mas Lando menjeda ucapannya sembari melirik ke arahku. "Saya juga mencintai Mira karena sebenarnya saya lebih dulu bertemu Mira daripada Lana. Jadi, apa salah jika saya ingin memiliki Mira dan Lana selama saya sanggup? Bukankah agama kita juga tidak melarang poligami?"
Jleb!
Mendengar ucapan Mas Lando rasanya ada ribuan pedang menghunus ke dadaku dan aku membeku.
Otak ini rasanya masih tak percaya kalau dia tega berucap begitu di depan Mamah. Mas Lando bersikap seolah di sini aku hanyalah pemain cadangan sementara Mira adalah peran utama padahal jelas-jelas di sini akulah istri sah dan sialnya dia ingin memiliki keduanya.
Aku menatap Mamah dengan perasaan campur aduk sekaligus penasaran dengan reaksi yang akan Mamah berikan.
"Oke, Lando kamu benar memang saya akui agama kita tidak melarang tapi demi Allah saya tidak rela anak saya dimadu meski balasannya syurga. Jadi, pinta saya lebih baik sekarang kamu segera siapkan berkas-berkas perceraianmu dengan putri saya! Cepat pergi dari sini! PERGI!" usir Mamah pada Mas Lando.
Sayang, bukannya pergi Mas Lando malah menatap tajam ke arahku juga Mamah. Raut wajahnya yang semula terlihat bersalah kini berganti penuh kelicikan.
"Jadi, Mamah tetap inginkan saya menceraikan Lana dan menolak niat baik saya buat rujuk?" tanya Mas Lando dengan seringai memuakkan.
Aku paham betul watak Mas Lando, jika dia sudah begini pasti dia sedang merencanakan sesuatu.
Seketika itu juga aku disergap firasat buruk.
"Ya, tentu saja. Saya gak mau anak saya sama lelaki kayak kamu. Emang kenapa, hah?"
"Baik jika Mamah tetap pada pendirian Mamah tapi sebelum itu saya punya syarat."
"Syarat? Syarat apa maksud kamu?"
"Tolong lunasi hutang Bapak pada saya yang senilai 200 juta itu jika mau Lana benar-benar saya lepaskan. Jika tidak, sampai kapan pun saya tak akan menandatangani surat cerai dengan Lana! Kalian paham, kan?" gertak Mas Lando membuat aku dan Mamah sontak mematung di tempat.
Hutang? Bapak berhutang 100 juta pada Mas Lando? Kok aku gak tahu?
Ah, ini gila! Tolong katakan kalau semua ini bohong!

KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Suamiku Terbongkar di Rumah Sakit (Aku Berhak Bahagia, Mas!)
General FictionTak kusangka kesepakatanku untuk menjalani pernikahan LDM (Long distance marriage) membuat petaka yang sangat menorehkan luka. Masih tidak bisa kupercaya, di saat aku keguguran aku malah menemukan pria yang selama ini kucintai dan kuagungkan kesetia...