"Here, a place where-

500 62 0
                                    

Gurat mega terlukis indah memenuhi pandang. Pada tepi langit, terlihat kelabu yang nampak sendu. Dan pada yang melingkup, tampak spektrum warna yang membuatnya terpaku. Jemari mengerat pada pinggir pagar. Dalam hati terayun rasa ragu dan lelah yang tertumpuk selama waktu yang tidak bisa diingat.

Kicauan burung camar khas pantai yang tidak jauh dari situ mulai terdengar. Terpantul pada iris hitamnya, terbang bebas mengepakkan sayap. Begitu mengagumkan. Seolah mengolok-oloknya yang terjebak dalam suatu tempat bernama 'hidup'. Aves itu terbang ke tempat yang bertuju, tidak sepertinya yang membeku di satu waktu.

Batu-batuan di bagian luar pagar yang kemarin sempat ia duduki ternyata meninggalkan bekas. Ketebalan debu yang berbeda terlihat tipis di sana. Ia yakin jika lelaki itu akan menyadarinya. Menatap hal itu, memorinya berputar pada satu kejadian. Ketika ia dengan kaki bergetarnya mencoba berdiri di sana. Entah bermain dengan akhir atau mungkin mencoba mengenal mati. Satu yang pasti, ia tidak berpikir untuk kembali.

Mulutnya terbuka kecil, melantunkan nada dari musik khas musim panas meski kini dingin sudah menggigiti ujung jemarinya hingga membiru. Maniknya yang berkedip bisa merasakan pipi yang mulai membeku. Kepulan asap ketika ia membuang nafas masih muncul, tanda jika ia belum memilih pergi.

Kaki yang menginjak pada celah pagar sedikit ia geser. Sengaja, langkah yang kecil namun pasti. Siapa tahu setelah ini ia bisa ikut terbang bersama burung camar yang melewatinya tadi. Pandangannya jatuh pada jalanan di bawah sana. Ramai, dipenuhi manusia yang entah memikirkan apa. Disesaki para insan yang bahkan ia ragu jika mereka masih ingin menjalani kehidupan.

Gedung-gedung tinggi, ratusan lampu berwarna kuning yang memancarkan hangat, sampai wangi cokelat panas yang entah bagaimana bisa sampai ke tempat ia saat ini. Padahal, gedung setinggi empat lantai di atas undakan bukit ke dua ia rasa cukup untuk membuatnya merasa lepas dari dunia.

Arloji yang melingkari tangan kiri menunjukan pukul lima. Senja mulai menyapa, dan sebentar lagi sekolah ini ditutup. Dalam hati bertanya-tanya, apa murid lain pernah mendatangi tempat ini? Tempat eksklusif yang menjadi saksi, tentang bagaimana orang-orang terdekatnya pamit menuju langit.

Sembilan ratus detik berlalu begitu cepat, hingga ia tidak menyadari jika satu figur telah berdiam sambil memperhatikannya dalam senyap.

Bunyi gesekan khas besi berkarat yang tengah didudukinya terdengar. Ia refleks menunduk, menatap seorang lelaki dengan surai secerah matahari tengah memantik sebatang nikotin. Mulutnya berdecih kesal, kemudian bergeser perlahan demi menghindari asap yang bisa-bisa mengenai wajahnya.

"Kenapa ke sini lagi?" Lelaki itu mendongak, menatapnya yang tadi bertanya. Pun ia terus menunduk untuk melihat wajah yang diam-diam terekam sempurna dalam ingatan. Pemilik manik scarlet itu tidak lekas menjawab, justru menghembuskan nafas beserta asap yang ironisnya mereka benci.

"Kenapa tidak pulang?" Kalimatnya dijawab pertanyaan yang terlampau dikenalinya. Selalu, setiap mereka bertemu di atap sekolah. Lelaki yang menjabat sebagai guru matematikanya itu menanyakan hal yang sama.

"Tidak ingin." Jawabnya singkat. Namun bagi pendengarnya yang lebih dari tahu tentang apa yang terjadi, itu lebih dari cukup.

Dalam sehari, rasanya tidak terhitung berapa banyak ia berpikir tentang hal yang sama. Perihal mengapa lelaki yang mengemban nama keluarga Moriarty itu selalu datang ke tempat ini. Mungkin kewajiban sebagai guru untuk memperhatikan murid, atau memang butuh asupan nikotin yang tertahan selama seharian penuh. Atau opsi terakhir, karena merasa ingin rehat sesaat —sepertinya.

Jeda umur 5 tahun tidak membuatnya bersikap sedikit lebih lembut pada lelaki itu. Ia mengaku, seluruh balasan maupun sikap miliknya terhitung dingin atau bahkan tidak sopan. Lantas apa? Apa yang kalian harapkan dari seorang guru yang menghisap nikotin di hadapan muridnya? Dan apa yang kalian ekspetasikan dari seorang murid yang berpikir untuk pergi di hadapan gurunya?

Lucu sekali. Seringkali ia tertawa sinis mengingat betapa ironis keduanya. Kalau diingat-ingat, hari ini genap dua belas bulan semenjak pertemuan tanpa janji ini dimulai. Mungkin setelah ini sebaiknya dia mengajak lelaki itu ke tempat yang berbeda.

-

Saat itu, tatkala ia hanya perlu melepas genggaman pada pagar setinggi dua meter di atas gedung empat tingkat. Seorang guru yang datang entah dari mana membuka pintu atap dengan penuh ekspresi panik. Bibirnya menyunggingkan senyum polos, bertanya ada apa tanpa perasaan. Berbeda dengan lelaki itu yang segera mendekatinya. Lantas menautkan tangan keduanya meski terhalang oleh dinginnya kawat pagar.

"Jangan." Sepatah kata yang terucap itu berhasil membuatnya memiringkan kepala. Dengan bodohnya ia bertanya, untuk apa? Pun dengan gigihnya tangan yang membeku itu terus mengeratkan genggam, seolah jika terlepas sepersekian detik saja ia akan pergi. Memang benar ia akan pergi, lalu mengapa? Mengapa ia tidak boleh memilih bebas?

"Jangan hari ini." Ia menikmati suara lembut itu meski senyumnya sedikit bergetar —merapuh. Sungguh, jalanan yang dipenuhi manusia itu seolah menggodanya untuk segera terjatuh. Kontras dengan manik darah milik lelaki itu. Yang entah bagaimana seperti memohon agar ia tidak memilih tujuannya.

"Kenapa?" Nada suaranya ketika itu nyatanya terdengar begitu lirih. Terdapat sendu dan rapuh yang mati-matian ia sembunyikan.

"Beritahu aku alasannya." Satu saja, selemah apapun, bahkan jika hanya sekadar roti kesukaannya akan diproduksi lagi. Bahkan sekadar janji jika langit esok akan memukau sampai ia menyesal jika tidak bisa menikmati.

"Saya–" Ia ingat betul bagaimana kalimat itu tersendat. Konyol, padahal yang ada di hadapannya ketika itu adalah gurunya. Gurunya yang begitu mengagumkan ketika menaiki podium. Gurunya yang melempar senyum sampai berhasil membuat mulutnya terkatup tanpa memberi balasan. Gurunya yang baru akhir-akhir ini ia sadari ternyata selalu menemaninya setiap ia memilih pulang terlambat.

"Selama saya menemukan kamu di sini." Ia tidak sadar, ujung kakinya ketika itu bergeser mendekati pagar. Memperkecil kemungkinan ia terjatuh.

"Selama itu pula kamu tidak boleh sekalipun ada di balik pagar seperti saat ini." Sepayah apapun alasannya, sebodoh apapun, sekonyol apapun. Apapun itu, asal bisa menjadi hal yang membuatnya memilih hidup satu menit lagi. Dan ia berhasil mendengar —menemukannya.

"Mister pemaksa ya?" Ia berucap sembari kembali memanjat pagar. Lalu melompat dan mendarat di ubin atap yang mulai mendingin. "Tapi terima kasih." Genggaman yang terlepas itu sempat menyelinapkan rasa sepi pada hatinya, namun itu bukan masalah besar.

Hujan deras turun tepat ketika ia berdiri di depan sang guru. Senyumnya terukir begitu menatap wajah yang terbingkai surai pirang yang membasah. Namun ketika tawanya menggema, ia merasa jika hujan yang mengenai pipinya justru menghangat. Ia berterima kasih sebesar-besarnya pada hujan ketika itu. Karena dari sudut matanya menetes tiga bulir air mata yang tentu menangkap atensi sang guru.

Tanpa kata, raungannya terpendam oleh dekap yang tidak disangka. "Ahaha." Sungguh, ia tertawa. Tertawa sebebas mungkin, seberantakan mungkin, dan sehancur-hancurnya. Lengan yang ia kira tidak bertenaga itu ternyata mampu merengkuhnya erat. Erat namun tidak menyakiti. Kaku namun bisa merapuhkan hati.

Seperti anak kecil yang kelelahan bermain. Seperti orang dewasa yang jenuh bersandiwara. Seperti gelas di ujung meja yang akhirnya terjatuh. Ia porak poranda, benteng yang disusunnya selama nyaris satu dekade hancur dalam satu aksi saja. Giginya bergemeletuk, kesal karena tak mampu melepas peluk. Berakhir dengan kuku yang mencengkram erat jas cokelat itu.

"Mister, aku lelah." Dalam lelah itu terkandung jutaan maksud. Ia lelah untuk melangkah, ia lelah untuk merasa sepi, ia lelah untuk terus ada di sini. Selisih tinggi keduanya membuat kepala gadis itu tersimpan tepat pada dada bidang. Telinganya mendengar detakan jantung lembut milik lelaki itu. Sedangkan rambut hitamnya merasakan belaian lembut dari tangan kurus itu.

Jauh dari kata romansa. Keduanya sibuk bergelut dengan masing-masing sengsara. Isaknya yang mulai terhenti membuat lelaki itu memberanikan diri angkat bicara. "Temui saya, kapanpun." Kepalanya tidak seketika mengangguk. Namun di waktu selanjutnya, dengan kondisi yang sama, figur itu selalu berhasil menemukannya.

SomewhereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang