Kehidupan Ku

8 1 0
                                    

Perkenalkan, nama ku Divani Rahmadanti. Anak kedua dari tiga bersaudara.

Teman – teman biasanya memanggil ku Div. Berbeda dengan orang tua dan keluarga yang selalu memanggil ku dengan nama Vani.

Bekerja di tempat  hiburan malam, membuat ku dapat membantu perekonomian orang tua, yang mengharuskan untuk menjadi tulang punggung.

Sejak ibu jatuh sakit, ayah yang hanya seorang petani lebih banyak di rumah, melayani istri yang sangat ia cintai dengan sabar.

Kakak perempuan ku satu – satunya sudah menikah dan tinggal bersama keluarga suaminya.

Adik bungsu ku yang saat ini masih duduk di bangku sekolah menengah akhir, tidak sanggup untuk membopong tubuh ibu sendirian. Maka dari itu, ayah memutuskan untuk pergi ke sawah setelah semua urusan dan keperluan ibu selesai.

Sedangkan aku, yang sudah semula rajin mengikuti kegiatan – kegiatan di masjid, sudah tiga tahun ini nyaris tidak pernah terlihat ada di sana.

Mas Fajar, ketua ikatan remaja masjid yang kebetulan aku adalah salah satu anggota di dalamnya. Ia juga adalah sseorang yang dulu sempat mengajak untuk menikah, dan sampai saat ini tampak menaruh harapan pada diri ku.

“Div, maaf jika gue lancang. Tapi, gue beneran suka sama lo,” ucap Jannah kala itu.

Aku yang membenci pria hidung belang, dengan spontan mencium pipi perempuan yang sudah dua tahun ini selalu setia menemani ku pergi kemanapun.
Dandanannya yang sedikit menyerupai laki – laki, membuat ku merasa ada sebuah kenyamanan yang membuat ku merasa aman berada di sebelahnya.
“Terus buat gue nyaman seperti ini yah, Jan,” pinta ku dan mendapatkan pelukan erat dari wanita yang berpostur tubuh sama seperti ku.

Hubungan ku dan Jannah semakin hari semakin tak dapat di lepaskan.

Terus terang, hati ku sudah tertutup untuk pria manapun.
Jannah memperlakukan ku dan keluarga layaknya seperti keluarga sendiri.

Setiap ia datang kerumah, selalu membawakan makanan, pakaian, bahkan uang untuk ibu ku.

Bahkan, sudah berapa kali ia membelikan ibu kukalung dan gelang emas.

Aku merasa bahwa Jannah adalah penolong dan pelindung dan juga pahlawan dalam keluarga ku.

Sawah ayah yang pernah kehabisan modal untuk membeli bibit, ia bantu dengan membelikan bibit terbaik agar sawah ayah menjadi lebih baik.

Ya, Jannah membuat ku tak ingin berpaling darinya.

Pekerjaan ku sebagai  perempuan malam, tak membuat ku berpaling dari Jannah.

Uang yang ku hasilkan dari pekerjaan haram ini, ku tabung dan di bangunkan sebuah rumah layak untuk keluarga tempati.

Biarkan, biarkan tetangga yang memberikan komentar negatif tentang diri ku.

Aku tidak peduli.

Toh, merka hanya bisa mengomentari tanpa membantu kesulitan keluarga ku.

“Vani, rumah kamu tinggal 10% lagi kayaknya udah beneran jadi, loh. Termasuk cepet, ya,” cela salah seorang tetangga yang kebetulan lewat di hadapan ku. Dua wanita seusia ku, salah satunya kebetulan sudah menikah dan memiliki tiga anak yang masih kecil.

“Ya iyalah cepet. Uangnya banyak. Coba kalau uangnya pas – pasan,” sahut salah satunya

“Vani, ajak – ajak dong kerja. Kita juga pengen bikin rumah kayak kamu,” sahut wanita pertama yang mencela ku

“Iya, enak banget. Kerja cuma berapa jam, tapi perolehan udah banyak banget,” cerca meraka

“Bukannya kalian udah bisa menilai apa yang jadi pekerjaan aku? Nggak usah sok – sok nggak tau, deh,” sahut ku malas dengan senyum yang sedikit terpaksa

Keduanya saling bertatapan, tampak menelan salivanya.

“Ya, kali aja kamu kerjanya halal. Iya, kan?” Perempuan berkerudung pink itu semakin lantang menghinaku secara halus

“Hey, jaman sekarang mana ada kerja enak dan halal yang bisa bikin cepet kaya. Iyakan, Van?”

“Sepertinya temen mu ini benar. Anyway, aku permisi dulu, ya. Bentar lagi aku harus siap – siap kerja. Aku kurang suka ngerumpi kayak kalian. Nggak ngasilin duit juga, kan? Hehe. Permisi dulu, ya.” tukas ku mengakhiri dosa mereka yang tampaknya tak akan habis walaupun di ladeni dengan wajah dan seringaian sinis.
Di dalam rumah, tampak ayah dan adik ku tengah berdiskusi.

Ya, diskusi yang sudah dari semalam ku dengar ketika akan pergi bekerja dan di antar oleh Jannah yang lebih senang mendapat panggilan Jack.
“Kak, aku udah liat – liat kampus yang bagus di internet. Biayanya juga tidak terlalu mahal. Kira – kira ...,” Vivi adik ku menggantung ucapannya ketika melihat mimik wajah ku yang sedikit tidak enak.

“Kamu kenapa, Van? Mereka lagi?” tanya ayah yang sudah faham masalah anaknya
“Ya, mereka selalu seperti itu. Udahlah, aku lagi malas. Oh iya, Vi. Kamu daftar aja ke kampus mana yang kamu mau. Kalau kakak kerja terus, bukan cuma biaya kamu kuliah yang kakak tanggung. Uang saku dan keperluan kamu selama kuliah, sebutin aja. Akan kakak penuhi.” Ucap ku seraya memasang jaket kulit yang ku beli dengan harga dua juta. Uang pemberian pak Andi, manager sebuah perusahaan tambang yang menawarkan ku untuk menjadi sugar babynya.

Jujur saja, setelah aku mengeluarkan kata – kata seperti tadi, wajah ayah seperti tertunduk lesu. Entah apa yang ada di fikiran pria setia ini terhadap ku yang selalu dengan mudah menyebutkan masalah uang.

“Ayah, selagi kita tidak meminta dan menyusahkan orang luar, ayah jangan khawatir. Aku akan bekerja keras demi Vivi, ibu, dan juga ayah. Oke?” Aku membujuk ayah agar entah untuk keberapa kalinya.

Suara klakson motor gede atau yang sering disingkat moge oleh beberapa orang, terdengar begitu jelas di  depan pagar bambu rumah kami.
“Ayah, aku pergi dulu. Do’akan saja anak mu ini sehat selalu.” ucap ku seraya mencium punggung tangan pria yang memiliki rambut sedikit plontos.
Tak lupa, aku juga mencium punggung tangan dan kening ibu ku yang sedang duduk di kursi roda pembelian dari mister Lee. Pria Chinese yang sering menjadikan ku teman malam di saat ia sedang datang ke kota ini.

“Tumben banget minta jemputnya jam segini? Mau belanja dulu?” tanya Jack alias Jannah
“Nggak, tadi mami nyuruh kita kumpul dan dateng sebelum jam lima sore. Kayaknya ada boss besar mau dateng. Seperti biasa, kita mau di pajang,” jelas ku seraya mengambil posisi duduk di belakang Jannah.

Kami yang kerap kali di jadikan bahan ghibah warga sekitar rumah ku, sudah kebal akan semua tatapan tajam mereka yang menganggap kami menjijikkan.

“Huh. Mereka nggak capek apa? Setiap sore duduk di rumah bu RT, menggosipi orang – orang yang lewat. Apa mereka pikir, hidup mereka udah baik? Apa anak – anak mereka sudah pasti baik?” Gerutu Jannah yang sangat jelas terdengar di telinga ku dengan posisi kami yang masih di dalam lorong.

Sepanjang jalan, hati ku selalu memikirkan masa depan yang entah akan seperti apa.

Jujur, aku juga tidak mau seperti ini setiap hari.

Aku tidak mau orang tua ku menjadi olok – oloka orang.

Aku tidak mau ayah ku selalu di anggap lemah.

Tapi di lain sisi, aku juga ingin mencukupi kebutuhan keluarga yang tidak dapat orang lain lakukan untuk ku.

Hingga tanpa terasa, moge milik Jannah sudah memasuki area hotel berbintang tempat ku bekerja.

“Jack,” ucap ku sembari memberikan helm yang tadi ku pakai

“Jack, apakah kita akan sepeti ini terus menerus?” tanya ku pada Jannah, membuat sahabat yang menciptakan pelangi dalam hidup ku ini menoleh cepat ke arah ku

“Apa maksud lo? Lo udah bosen sama gue? Apa kekurangan gue?” Jannah menanggapi ucapan ku dengan sedikit emosi

“Eh. Enggak, kok. Aku cuma nanya, Jack. Terus terang, aku juga pengen ketika pulang dari lelahnya kerja, mendapat sambutan dari anak – anak ku. Apa kamu nggak mau kayak gitu?” entah dorongan dari mana aku ingin sekali mengatakan hal seperti ini kepada Jannah

Wanita setengah laki – laki itu tak menanggapi ucapan ku sedikitpun.

Ia menancapkan gas dan meninggalkan ku yang mematung melihat punggungnya.

Bersambung ...

Bawa Aku KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang