Matcha Latte - Tetangga

12 7 18
                                    

Tak sedikit yang sengaja dekat-dekat dengan tempat kami berdua berdiri. Hanya untuk melihat "sesuatu" yang mereka anggap salah dari tubuhku.

SMA Ciraya.

"Aku Meira Anindita. Pindahan dari Pondok Al-Hikmah Jakarta. Salam kenal," sapa Meira kepada para penghuni kelas 12 IPA 2. Tak lupa memberi senyum seolah tanda perkenalan.

"Cantik sih, tapi kok ... ah, nggak jadi." celetuk salah salah satu murid laki-laki di bangku pojok.

"Ngaca dulu, Bambang!" bela siswi berkuncir kuda di bangku paling depan.

"Silakan duduk, Meira. Jangan dengar apa kata mereka. Fokus pada diri kamu sendiri," Bu Isti menyemangati diriku.

Aku tak perlu dikasihani.

"Kana." Aku menerima uluran tangan dari siswi yang membelaku tadi.

"Bangkumu di belakangku, Mei." ucap Kana padaku.

Aku melirik pada bangku kosong di belakangnya, "ah, iya."

"Ibu pergi dulu ya, anak-anak!" pamit Bu Isti lalu pergi meninggalkan kelas bercat hijau ini.

Gadis di sebelahku sepertinya tak sadar ada penghuni baru di sampingnya. Dia terlihat ... sibuk menghitung jualan?

"Ical! Kamu belum bayar utangmu! Awas aja nanti! Basrengnya aku minta kamu muntahin lagi!" teriak gadis itu lalu kembali menatap buku catatan uangnya.

"Alfian, lima ribu. Banyu, tujuh ribu. Ijah, tiga---"

"Emm, hai. Aku Meira." Aku mengulurkan tanganku tepat ke depan arah pandangnya.

Gadis berambut sebahu itu menoleh, "eh?"

"Shela?" "Meira?" ucap kami bersamaan.

Takdir Allah kami dipertemukan kembali. Shela, sahabatku dulu. Saat masih tinggal di rumah pertama aku memang sering bermain dengannya.

Dia tumbuh sangat baik. Dan cantik.

"Kapan kamu balik?!" tanya Shela masih histeris.

"Eee kemarin."

"Kenapa nggak bilang-bilang aku sih, Mei? Aku kan bisa jemput kamu, ngajak makan baso aci, minum teh."

"Kamu masih cerewet," ujarku lalu kami terkekeh bersama.

"Shela!" Teriak seorang laki-laki di ambang pintu kelas.

Sebenarnya sekarang sudah jam masuk kelas. Namun bertepatan dengan hari Sabtu bersih, jadi tidak ada pelajaran hari ini.

Aku menoleh setelah laki-laki itu berjalan ke arah meja kami berdua. Tepatnya di samping Shela.

"Kamu?" Seketika laki-laki dengan badge kelas warna merah itu terkejut. Apa ada yang salah denganku? Kenapa dia terlihat seperti kepergok transaksi narkoba?

Laki-laki itu menaruh telunjuknya ke depan mulut. Memberi isyarat agar aku diam saja.

"Banyu, cepet bayar! Makan mulu nggak mau bayar!"

Banyu menoleh ke sumber suara yang ada di sampingnya. "Oke-oke. Tapi aku selesaikan dulu urusanku sama dia," balas Banyu dengan wajah serius dan panik?

"Urusan? Aku?" Banyu berjalan memutari meja dan berhenti tepat di sampingku. Laki-laki berambut gondrong itu sedikit membungkukkan badannya guna menyamai tinggi dudukku.

"Jangan bilang siapa-siapa," tukas Banyu memperingati dengan nada begitu panik. Aku mengerutkan alis tanda tak paham. Aku mau bilang apa emangnya?

Kulihat dia sedikit mendengus sebal, "tentang aku yang ada di panti."

Matcha LatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang